Selamat datang dan jangan lupa FOLLOW ME

Tuesday, March 15, 2011

Bagaimnakah strategi dan perencanaan pembangunan ekonomi di indonesia d masa yg akan datang ?

A. PENGERTIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN
Istilah “perencanaan pembangunan”, khususnya pembangunan ekonomi, sudah biasa terdengar dalam pembicaraan sehari-hari. Akan tetapi, “perencanaan” diartikan berbeda-beda dalam buku yang berbeda.
Conyers & Hills (1994) mendefinisikan “perencanaan” sebagai ”suatu proses yang bersinambungan”, yang mencakup “keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan berbagai aiternatif penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu pada masa yang akan datang.“ Definisi tersebut mengedepankan 4 unsur dasar perencanaan, yakni
1.) Pemilihan.
”Merencanakan berarti memilih,” kata Yulius Nyerere (mantan Presiden Tanzania) ketika menyampaikan pidato Repelita II Tanzania pada tahun 1969. Artinya, perencanaan merupakan proses memilih di antara berbagai kegiatan yang diinginkan, karena tidak semua yang diinginkan itu dapat dilakukan dan dicapai dalam waktu yang bersamaan. Hal itu menyiratkan bahwa hubungan antara perencanaan dan proses pengambilan keputusan sangat erat. Oleh karena itu, banyak buku mengenai perencanaan membahas pendekatan-pendekatan alternatif dalam proses pengambilan keputusan, terutama yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dan urutan tindakan di dalam proses pengambilan keputusan.
2.) Sumber daya.
Perencanaan merupakan alat pengalokasian sumber daya. Penggunaan istilah "sumber daya" di sini menunjukkan segala sesuatu yang dianggap berguna dalam pencapaian suatu tujuan tertentu. Sumber daya di sini mencakup sumber daya manusia; sumber daya alam (tanah, air, hasil tambang, dan sebagainya); sumber daya modal dan keuangan. Perencanaan mencakup pro-ses pengambilan keputusan tentang bagaimana sumber daya yang tersedia itu digunakan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, kuantitas dan kualitas sumber daya tersebut sangat berpengaruh dalam proses memilih di antara berbagai pilihan tin-dakan yang ada.
3.)Tujuan.
Perencanaan merupakan alat untuk mencapai tujuan. Konsep perencanaan sebagai alat pencapaian tujuan muncul berkenaan dengan sifat dan SIMRENAS: Panduan Pemahaman dan Pengisian Data Dasar Perencanaan Pembangunan proses penetapan tujuan. Salah satu masalah yang sering dihadapi oleh seorang perencana adalah bahwa tujuan-tujuan mereka kurang dapat dirumuskan secara tepat. Sering kali tujuan-tujuan tersebut didefinisikan secara kurang tegas, karena kadang kala tujuan-tujuan tersebut ditetapkan oleh pihak lain.
4.)
Waktu. Perencanaan mengacu ke masa depan. Salah satu unsur penting dalam perencanaan adalah unsur waktu. Tujuan-tujuan perencanaan dirancang untuk dicapai pada masa yang akan datang. Oleh karena itu, perencanaan berkaitan dengan masa depan.

B. Pembangunan ekonomi wilayah memberikan perhatian yang luas terhadap
keunikan karakteristik wilayah (ruang). Pemahaman terhadap sumberdaya
alam, sumberdaya manusia, sumberdaya buatan/infrastruktur dan kondisi
kegiatan usaha dari masing-masing daerah di Indonesia serta interaksi antar
daerah (termasuk diantara faktor-faktor produksi yang dimiliki) merupakan
acuan dasar bagi perumusan upaya pembangunan ekonomi nasional ke depan.
UU 24/1992 tentang Penataan Ruang menyebutkan bahwa ruang dipahami
sebagai suatu wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang
udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk hidup
lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan
hidupnya. Dalam konteks ini, sumberdaya alam, sumberdaya manusia,
sumberdaya buatan/infrastruktur wilayah dan kegiatan usaha merupakan
unsur pembentuk ruang wilayah dan sekaligus unsur bagi pembangunan
ekonomi nasional yang lebih merata dan adil.

STRATEGI & PEMBANGUNAN INDONESIA KE DEPAN.
Tantangan pembangunan Indonesia ke depan sangat berat dan berbeda dengan
yang sebelumnya. Paling tidak ada 4 (empat) tantangan yang dihadapi
Indonesia, yaitu:
(i) otonomi daerah,
(ii) pergeseran orientasi pembangunan
sebagai negara maritim,
(iii) ancaman dan sekaligus peluang globalisasi, serta
(iv) kondisi objektif akibat krisis ekonomi.
A. Pertama, Undang-undang No. 22 tahun 1999 secara tegas meletakkan otonomi
daerah di daerah kabupaten/kota. Hal ini berarti telah terjadi penguatan yang
nyata dan legal terhadap kabupaten/kota dalam menetapkan arah dan target
pembangunannya sendiri. Di satu sisi, penguatan ini sangat penting karena
secara langsung permasalahaan yang dirasakan masyarakat di kabupaten/kota
langsung diupayakan diselesaikan melalui mekanisme yang ada di
kabupaten/kota tersebut. Tetapi, di sisi lain, otonomi ini justru menciptakan
ego daerah yang lebih besar dan bahkan telah menciptakan konflik antar
daerah yang bertetangga dan ancaman terhadap kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
B. Kedua, reorientasi pembangunan Indonesia ke depan adalah keunggulan
sebagai negara maritim. Wilayah kelautan dan pesisir beserta sumberdaya
alamnya memiliki makna strategis bagi pembangunan ekonomi Indonesia,
karena dapat diandalkan sebagai salah satu pilar ekonomi nasional.
C. Ketiga, ancaman dan peluang dari globalisasi ekonomi terhadap Indonesia yang
terutama diindikasikan dengan hilangnya batas-batas negara dalam suatu
proses ekonomi global. Proses ekonomi global cenderung melibatkan banyak
negara sesuai dengan keunggulan kompetitifnya seperti sumberdaya manusia,
sumberdaya buatan/infrastruktur, penguasaan teknologi, inovasi proses
produksi dan produk, kebijakan pemerintah, keamanan, ketersediaan modal,
jaringan bisnis global, kemampuan dalam pemasaran dan distribusi global.
Ada empat manfaat yang dirasakan dari globalisasi ekonomi, yaitu (i) spesialisasi
produk yang didasarkan pada keunggulan absolut atau komparatif, (ii) potensi
pasar yang besar bagi produk masal, (iii) kerjasama pemasaran bagi hasil bumi
dan tambang untuk memperkuat posisi tawar, dan (iv) adanya pasar bersama
untuk produk-produk ekspor yang sama ke pasar Asia Pasifik yang memiliki
70% pasar dunia. Di sisi lain, globalisasi juga memberikan ancaman terhadap
ekonomi nasional dan daerah berupa membanjirnya produk-produk asing
yang menyerbu pasar-pasar domestik akibat tidak kompetitifnya harga produk
lokal.
D. Terakhir, kondisi objektif akibat krisis ekonomi (jatuhnya kinerja makro
ekonomi menjadi –13% dan kurs rupiah yang terkontraksi sebesar 5-6 kali lipat)
dan multi dimensi yang dialami Indonesia telah menyebabkan tingginya angka
penduduk miskin menjadi 49,5 juta atau 24,2% dari total penduduk Indonesia
pada tahun 1997/1998 dan mulai membaik pada tahun 1999 menjadi 23,4%
atau 47,97 juta jiwa. Di sisi lain, krisis ekonomi ini menjadi pemacu krisis
multidimensi, seperti krisis sosial, dan krisis kepercayaan terhadap pemerintah.

Hal yang sering terlupakan dari kebijakan Pembangunan ekonomi nasional
sejak mulai tahun 1969 sampai sekarang adalah semakin melebarnya jurang
kesenjangan antar wilayah secara nasional, yaitu antara perkembangan
Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang meliputi Pulau Kalimantan, Sulawesi,
Maluku, Papua, Bali dan kepulauan Nusa Tenggara, relatif jauh tertinggal
dibandingkan dengan perkembangan Kawasan Barat Indonesia (KBI). Faktafakta
yang mendasari diperlihatkan sebagai berikut:

• Kesenjangan sumberdaya manusia antara KTI dengan KBI yang secara
kuantitatif adalah 20% dengan 80% tahun 2002, dan secara kualitatif
ditandai oleh Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 62,9 di KTI dan 65,7 di
KBI

• Kesenjangan ekonomi antara KTI dengan KBI adalah 19% dengan 81%
tahun 2002 yang dirinci dalam kinerja sektor-sektor utama, yaitu (i)
kontribusi sektor pertanian di KTI dan KBI (22% dan 78%), (ii) sektor
industri di KTI dan KBI (10% dan 90%), (iii) investasi asing (PMA) 13,5%
dan 86,5%, investasi dalam negeri (PMDN) 19,5% dan 80,5%, dan (iv)
ekspor-impor 20% dan 80%.

• Kondisi sumberdaya alam di KTI umumnya melimpah dengan sumberdaya
lahan (kehutanan dan perkebunan) di Kalimantan, Papua, dan Sulawesi;
kelautan di hampir seluruh wilayah KTI dan mineral di Kalimantan, Papua
dan Sulawesi serta Nusa Tenggara dan Maluku. Sedangkan di KBI relatif
sudah dieksploitasi dengan kegiatan ekonomi perkebunan seperti di
Sumatera, kehutanan di Sumatera, industri dan jasa di Jawa dan sebagian
Sumatera.

• Kondisi sumberdaya buatan/infrastruktur di KTI umumnya masih sangat
terbatas dan terkonsentrasi hanya pada wilayah-wilayah tertentu, dan
belum berwujud sistem jaringan (networking), dibandingkan dengan di KBI
yang sudah berwujud sistem jaringan jalan, rel, listrik, telekomunikasi,
sumberdaya air/irigasi, dan sistem kota-kota.

Selain kesenjangan KTI dengan KBI, untuk lingkup yang lebih kecil, terjadi
kesenjangan perkembangan antar bagian wilayah pulau besar seperti Pantai
Utara dengan Pantai Selatan Pulau Jawa dan Pulau Bali (yaitu 89% berbanding
11% terhadap total PDRB propinsi-propinsi di Jawa dan Bali), Pantai Timur
dengan pantai Barat Pulau Sumatera (80% berbanding 20% terhadap total
PDRB propinsi-propinsi di Sumatera), Bagian Utara dan Selatan dengan Bagian
Tengah dan Tenggara Pulau Sulawesi (masing-masing 78% berbanding 22%
terhadap total PDRB propinsi-propinsi di Sulawesi), Bagian pesisir dengan
bagian pedalaman Pulau Kalimantan (90% berbanding 10% terhadap total
PDRB propinsi-propinsi di Kalimantan). Gambaran kesenjangan ini juga
ditandai dengan keberadaan sumberdaya manusia, sumberdaya alam,
sumberdaya buatan dan kegiatan usaha yang dalam proporsi yang hampir
sama seperti kesenjangan KTI dengan KBI. Kesenjangan antar wilayah juga
diindikasikan terjadi antar perkembangan wilayah perkotaan dengan wilayah
perdesaan (yaitu: 61,5% berbanding 38,5% terhadap PDB) dan cenderung terus
menguntungkan daerah perkotaan dan menguras sumberdaya wilayah
perdesaan. Kondisi-kondisi ini menyebabkan terjadinya efek pengeringan di
perdesaan yang berakibat rendahnya produktivitas perdesaan dan
meningkatkan angka jumlah penduduk miskin. Di sisi lain, melimpahnya
sumberdaya di perkotaan tetapi tidak dapat dikelola telah menyebabkan
munculnya angka pengangguran yang tinggi dan pekerja di sektor informal
yang terus meningkat di perkotaan. Akhirnya menyebabkan rendahnya
produktivitas perkotaan. Fakta lain adalah wilayah perbatasan yang umumnya masih sangat rendah
perkembangannya, akibat kebijakan masa lalu yang cenderung memarjinalkan
wilayah perbatasan dengan hanya berfungsi sebagai jalur pertahanan dan
keamanan (Security Belt). Secara umum, kontribusi ekonomi wilayah
perbatasan sangat rendah, yaitu kurang dari 0,1% (satu per mil) dari ekonomi
nasional. Hal ini memang menggambarkan belum berkembangnya
perekonomian wilayah ini yang secara saling mempengaruhi disebabkan oleh
rendahnya tingkat pelayanan transportasi. Padahal wilayah perbatasan ini
memiliki potensi yang besar sebagai pintu gerbang negara ke pasar
internasional yang besar dan sangat menjanjikan secara ekonomi. Keadaan
yang sangat kontras di bagian wilayah negara tetangga yang sangat maju dan
berkembang dengan sektor unggulannya sama dengan sektor unggulan
wilayah perbatasan Indonesia yang memanfaatkan produk-produk Indonesia
seperti kayu dan hasil hutan lainnya, untuk kemudian diekspor lebih lanjut
dengan nilai tambah yang jauh lebih besar.

Lemahnya interaksi ekonomi antar daerah terutama di KTI. Berdasarkan data
survai Asal – Tujuan angkutan barang total ternyata orientasi aliran barang
daerah-daerah di KTI yang mencapai lebih dari 90% (sekitar 50 milyar tonase
barang dalam setahun) adalah menuju dan berasal dari KBI, terutama kota
Jakarta dan Surabaya (dari/ke seluruh daerah-daerah di KTI) dan Semarang
(khususnya dari Kalimantan). Dalam konteks ini keterkaitan pengembangan
KTI sangat tergantung dengan perkembangan kota-kota di Jawa tersebut.
Mayoritas hasil produksi dari seluruh daerah di KTI dibawa menuju ketiga
kota yang memiliki industri-industri pengolahan, kemudian diekspor dan atau
diantar-pulaukan ke daerah-daerah di KTI berupa barang atau produk
konsumsi dan produk jadi.

Sistem perdagangan ekspor-impor masih berpihak kepada KBI, terutama pada
pelabuhan-pelabuhan di laut kepulauan seperti di Jawa (Tanjung Priok,
Tanjung Perak dan Tanjung Emas). Berdasarkan Data Ekspor-Impor antar
Pelabuhan di Indonesia pada tahun 2001 sebanyak hampir 40% dari total
volume ekspor-impor Indonesia atau US$ 42,5 billion (65,2% dari toal nilai)
dilakukan dari ketiga pelabuhan. Padahal bila dilihat dari komoditi yang
diekspor umumnya bahan bakunya berasal daerah KTI dan Sumatera. Hal ini
disebabkan belum tersedianya fasilitas ekspor-impor di pelabuhan-pelabuhan
di KTI yang secara geografis sangat strategis kareana di jalur perdagangan
internasional dan akses langsung ke pasar internasional seperti Asia Pasifik,
Australia, Timur Tengah dan Afrika serta Eropa. Dalam konteks ini,
pengembangan pelabuhan di KTI perlu didorong dengan kualifikasi pelabuhan
petikemas sehingga dapat menarik investor untuk mendirikan industri dan
bisnis lain dengan dukungan hinterlandnya.


Tingginya penduduk miskin yang mencapai 47,97 juta jiwa atau 23,4% total
penduduk Indonesia membutuhkan arah kebijakan pembangunan nasional
yang lebih memandang pembangunan kualitas pembangunan manusia yang
kompetitif sejalan dengan pembangunan ekonomi. Propenas tahun 1999-2004
mengamanatkan perkembangan ekonomi di masa transisi ini adalah tahapan
pembangunan untuk pemulihan ekonomi hingga 2004. Pada tahap pemulihan
ini, ekonomi nasional akan didorong oleh sektor-sektor yang berperan dalam
pemenuhan konsumsi masyarakat, dan sektor yang memiliki nilai tambah lokal
yang tinggi dan berorientsi ekspor, serta industri padat karya.

Potensi sumberdaya alam Indonesia yang sangat berlimpah sebagai modal bagi
pembangunan ekonomi yang lebih merata dan adil, terutama potensi di
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Potensi tersebut antara lain adalah:

• Secara sosial, wilayah pesisir da pulau-pulau kecil dihuni tidak kurang dari
140 juta jiwa atau 60% dari penduduk Indonesia yang bertempat tinggal
dalam radius 50 km dari garis pantai.2 Dapat dikatakan bahwa wilayah ini
merupakan cikal bakal perkembangan urbanisasi Indonesia pada masa yang
akan datang. Secara administratif kurang lebih 42 Kota dan 181 Kabupaten
berada di pesisir dan pulau-pulau kecil.

• Secara ekonomi, hasil sumberdaya kelautan telah memberikan kontribusi
terhadap pembentukan PDB nasional sebesar 24 % pada tahun 1989. Selain
itu, pada wilayah ini juga terdapat berbagai sumber daya masa depan
(future resources) dengan memperhatikan berbagai potensinya yang pada
saat ini belum dikembangkan secara optimal, yakni (i) potensi perikanan
yang saat ini baru sekitar 58,5% dari potensi lestarinya yang termanfaatkan
(ii) Besaran nilai investasi baik PMA dan PMDN yang masuk, pada bidang
kelautan dan perikanan selama 30 tahun tidak lebih dari 2% dari total
investasi di Indonesia.

• Selanjutnya, wilayah kelautan juga kaya akan beberapa sumber daya pesisir
dan lautan yang potensial dikembangkan lebih lanjut meliputi (a)
pertambangan dengan diketahuinya 60 cekungan minyak, (b) perikanan
dengan potensi 6,7 juta ton/tahun yang tersebar pada 9 dari 17 titik
penangkapan ikan dunia; (c) pariwisata bahari yang diakui dunia dengan
keberadaan 21 spot potensial, dan (d) keanekaragaman hayati yang sangat
tinggi (natural biodiversity) sebagai daya tarik bagi pengembangan kegiatan
“ecotourism”

• Secara biofisik, wilayah maritim di Indonesia merupakan pusat biodiversity
laut tropis dunia karena hampir 30 % hutan bakau dan terumbu karang
dunia terdapat di Indonesia,
• Secara politik dan hankam, wilayah maritim merupakan kawasan
perbatasan antar-negara maupun antar-daerah yang sensitif dan memiliki
implikasi terhadap pertahanan dan keamanan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).

No comments:

Post a Comment