Selamat datang dan jangan lupa FOLLOW ME

Thursday, April 28, 2011

pelayanan ASUS centre terhadap pelanggan (nyata)

awal cerita saya mempunya netbook merek "ASUS" yang bermasalah dengan hardisk, seingkat cerita hardisk tersebut tidak kedetect atau kebaca. karena saya masih garansi 1 tahun maka saya cari service centre ada dimana? karena di buku garansi tidak ada petunjuk tempat service centre ASUS berada dan hanya ada service centre silahkan kunjungi http://support.asus.com
maka saya buka disana dan saya cari tempat service centrenya dimana, maka saya menemukannya di link http://support.asus.com/ServiceCenter/List.aspx?SLanguage=en&r=1&c=12&a=235&p=3

disana banyak pilihan tempat service centre asus berada tapi karena rumah saya di daerah depok maka saya pilih daerah mangga 2 karena selain efisien dengan hanya naik kereta maka bisa lebih irit.

tapi setelah sampai disana saya dengan agak sedikit susah mencari service ccentre ASUS di mangga 2 mall maka ketemulah saya dengan tempat yang saya tuju. Disana saya menunggu tidak begitu lama nomor saya dipanggil dan saya ketemu dan berbicara dengan customer service asus.
saat saya bilang saya hardisk netbook saya bermasalah dan masih bergaransi tidak ada masalah selanjutnya pemeriksaan netbook saya juga tidak apa apa. tapi setelah dia mengecek dan sadar kalo netbook saya bukan pembelian dari tempat dy dan dia berkata pada saya "Maaf mas kami hanya distributor selain itu barang ini bukan penjualan dari kami" "kalo mas mengalami kerusakan ini silahkan datang aja ke asus indonesia disana serba lengkap mas"

lalu saya pun berkata " lah mas ini kan tempat dimana ada service centre asus sesuai di situs asus indonesia tpi kenapa mesti ke senayan or ke gading buat apa nama tampat ini ada di situs ASUS kalo harus di bawa kesana juga pada akhirnya"

orang itu pun berkata "maaf mas ini sudah sesuai prosedur"

setelah berkata seperti itu saya pun beranjak pergi dari tempat tersebut dan terpikirkan kenapa sampai ada tempat service centre yang tidak mau melayani pelanggannya cuma karena bukan membeli barang di tempat tersebut.
begitukah cara pelayanannya.
mungkin ini hanya cerita dari saya saja dan ini murni nyata.

Read More......

Friday, April 15, 2011

Pengertian Hukum dan Hukum Ekonomi

A. Pengertian Hukum
Banyak tokoh yang mempunyai pendapat masing-masing tentang hukum. Beberapa diantaranya:

a. Aristetoles
Hukum adalah dimana masyarakat menaati dan menerapkannya dalam anggotanya sendiri
b. Grotus
Hukum adalah salah satu aturan dari tindakan moral yang mewajibkan pada suatu yang benar
c. Wiryono Kusumo
Hukum adalah keseluruhan peraturan yang baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur tata tertib di dalam masyarakatdan terhadap pelanggaranya akan dikenakan sanksi.

Hukum terdiri atas beberapa unsur :
1. peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
2. peraturan itu bersifat mengikat dan memaksa.
3. peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi
4. pelanggarannya terhadap peraturan tersebut dikenakan sanksi.

B. Kodifikasi Hukum
Adalah pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap.
Ditinjau dari segi bentuknya hukum dibedakan menjadi 2,yaitu :
a. Hukum Tertulis
Adalah hukum yang dicantumkan dalam pelbagai peraturan-peraturan
b. Hukum Tidak Tertulis
Adalah hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tetulis namun berlakunya ditaati seperti peraturan perundangan ( hukum kebiasaan )

Menurut teori ada 2 macam hukum kodifikasi, yaitu :
1. Kodifikasi terbuka adalah kodifikasi yang membuka diri terhadap terdapatnya tambahan-tambahan di luar induk kodifikasi
2. kodifikasi tertutup adalah semua hal yang menyangkut permasalahannya dimasukan ke dalam kodifikasi atau buku kumpulan peraturan.

Unsur-unsur dari suatu kodifikasi :
a. jenis-jenis hukum tertentu
b. Sistematis
c. Lengkap

Tujuan Kodifikasi Hukum Tertulis untuk memperoleh:
a. Kepastian hukum
b. Penyederhanaan hukum
c. Kesatuan hukum

Contoh kodifikasi hukum :
- Di Eropa
Corpus Iuris Civilis, yang diusahakan oleh Kaisar Justinianus dari kerajaan Romawi Timur tahun 527-565
- Di Indonesia
a. kitab Undang-Undang Hukum Sipil (1 Mei 1848)
b. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (1 Mei 1848)

C. Pengertian Ekonomi
Ekonomi berasal dari kata yunani (oikos) yang berarti keluarga, rumah tangga dan (nomos) berarti peraturan, aturan, hukum.
Ekonomi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam memilih dan menciptakan kemakmuran.

D.pengertian Hukum Ekonomi
Hukum ekonomi adalah suatu hubungan sebab akibat atau pertalian peristiwa ekonomi yang saling berhubungan satu dengan yang lain dalam kehidupan ekonomi sehari-hari dalam masyarakat.

Menurut Sunaryati Hartono, hukum ekonomi adalah penjabaran hukum ekonomi pembangunan dan hukum ekonomi social, sehingga hukum ekonomi tersebut mempunyai 2 aspek yaitu :
a. Aspek pengaturan usaha-usaha pembangunan ekonomi
b. Aspek engaturan usaha-usaha pembagian hasil pembangunan ekonomi secara serta merata diantara seluruh lapisan masyarakat.

Hukum ekonomi dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :
a. hukum ekonomi pembangunan
b. Hukum ekonomi social

Hukum di Indonesia menganut asas sebagai berikut :
a. asas keimanan
b. asas manfaat
c. asas demokrasi
d. asas adil dan merata
e. asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam perikehidupan
f. asas hukum
g. asas kemandirian
h. asas keuangan
i. asas ilmu pengetahuan
j. asas kebersamaan, kekeluargaan, keseimbangan dalam kemakmuran rakyat
k. asas pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan
l. asas kemandirian yang berwawasan kenegaraan

Read More......

Subyek Hukum dan Objek Hukum

Subyek hukum adalah setiap makhluk yang memiliki,memperoleh,dan menggunakan hak-hak kewajiban dalam lalu lintas hukum.
Subyek hukum terdiri dari dua jenis :
• Manusia Biasa ( Naturlijke Person )
• Badan Hukum ( Rechts Person )

Badan hukum dibedakan dalam dua bentuk :
• Badan Hukum Publik ( Publik Rechts Person )
• Badan Hukum Privat ( Privat Rechts Person )

Obyek hukum menurut pasal 499 KUHP Perdata,yakni benda.
“segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum atau segala sesuatu yang menjadi pokok permasalahan dan kepentingan bagi para subyek hukum atau segala sesuatu yang dapat menjadi obyek hak milik”

Jenis Obyek Hukum :
• Benda yang bersifat kebendaan
- Benda bergerak/tidak tetap - Benda tidak bergerak
• Benda yang bersifat tidak kebendaan

Hak kebendaan yang bersifat sebagai pelunasan hutang ( hak jamin ) yang melekat pada kreditur yang memberikan kewenangan untuk melakukan eksekusi kepada benda yang dijadikan jaminan jika debitur melakukan wanprestasi terhadap suatu prestasi (perjanjian).
Macam-macam pelunasan hutang :

1. Jaminan Umum
a. Benda tersebut bersifat ekonomis (dapat dinilai dengan uang).
b. Benda tersebut dapat dipindah tangankan haknya kepada pihaklain.

2. Jaminan Khusus

a. Gadai
Hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak yang diberikan kepadanya oleh debitur atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu hutang.

b. Hipotik
Suatu hak kebendaan atas benda tidak bergerak untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perhutangan.

c. Hak Tanggungan
Hak jaminan atas tanah yang dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan suatu satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang dan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur yang lain.

d. Fidusia
Suatu perjanjian accesor antara debitur dan kreditur yang isinya penyerahan hak milik secara kepercayaan atau benda bergerak milik debitur kepada kreditur.


Read More......

Investasi

Investasi adalah suatu istilah dengan beberapa pengertian yang berhubungan dengan keuangan dan ekonomi. Istilah tersebut berkaitan dengan akumulasi suatu bentuk aktiva dengan suatu harapan mendapatkan keuntungan dimasa depan. Terkadang, investasi disebut juga sebagai penanaman modal.
· Pengertian
Investasi adalah pengeluaran atau perbelanjaan penanam – penanam modal atau perusahaanuntuk memebeli barang-barang modal dan perlengkapan-perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan memproduksi barang – barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian.investasi atau pembentukan modal merupakan komponen kedua yang menentukan tingkat pengeluaran agrerat . (sadono sukirno 1994;107).
Investasi merupakan tambahan stok barang modal tahan lama yangalan memperbesar peluang produksi dimasa mendatang. Salah satu peranan yang sangat penting untuk menjalankan suatu perekonomian adalah investasi, karena merupakan salah satu fakor penentu dari keseluruhan tingkat output dan kesempatan kerja dalam jangka pendek.nyak mengandung resiko dan ketidak pastian
Invesatasi juga merupakan pengkaitan sumber-sumber jangka panjanguntuk menghasilkan laba di masa yang akan datang. Sekali investasi diputuskan maka perusahaan akan terikat pada jalan panjang dimasa yang akan datang yang sudah dipilih , dan yang tidak mudah disimpangi . investasi
Berdasarkan teori ekonomi, investasi berarti pembelian (dan produksi) dari modal barang yang tidak dikonsumsi tetapi digunakan untuk produksi yang akan datang (barang produksi). Contohnya membangun rel kereta api atau pabrik. Investasi adalah suatu komponen dari PDB dengan rumus PDB = C + I + G + (X-M). Fungsi investasi pada aspek tersebut dibagi pada investasi non-residential (seperti pabrik dan mesin) dan investasi residential (rumah baru). Investasi adalah suatu fungsi pendapatan dan tingkat bunga, dilihat dengan kaitannya I= (Y,i). Suatu pertambahan pada pendapatan akan mendorong investasi yang lebih besar, dimana tingkat bunga yang lebih tinggi akan menurunkan minat untuk investasi sebagaimana hal tersebut akan lebih mahal dibandingkan dengan meminjam uang. Walaupun jika suatu perusahaan lain memilih untuk menggunakan dananya sendiri untuk investasi, tingkat bunga menunjukkan suatu biaya kesempatan dari investasi dana tersebut daripada meminjamkan untuk mendapatkan bunga.

Read More......

Pengangguran

Pengangguran atau tuna karya adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak. Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau para pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada yang mampu menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya.

Tingkat pengangguran dapat dihitung dengan cara membandingkan jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja yang dinyatakan dalam persen. Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran dan kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan juga dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk terhadap penganggur dan keluarganya. Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kekacauan politik keamanan dan sosial sehingga mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Akibat jangka panjang adalah menurunnya GNP dan pendapatan per kapita suatu negara. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, dikenal istilah "pengangguran terselubung" di mana pekerjaan yang semestinya bisa dilakukan dengan tenaga kerja sedikit, dilakukan oleh lebih banyak orang.

Read More......

Kebijakan moneter

Kebijakan moneter adalah proses mengatur persediaan uang sebuah negara untuk mencapai tujuan tertentu; seperti menahan inflasi, mencapai pekerja penuh atau lebih sejahtera. Kebijakan moneter dapat melibatkan mengeset standar bunga pinjaman, "margin requirement", kapitalisasi untuk bank atau bahkan bertindak sebagai peminjam usaha terakhir atau melalui persetujuan melalui negosiasi dengan pemerintah lain.

Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor riil.

Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan kestabilan harga. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas Moneter berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran dalam pasokan/distribusi barang.Kebijakan moneter dilakukan antara lain dengan salah satu namun tidak terbatas pada instrumen sebagai berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi dipasar valuta asing dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam uang apabila mengalami kesulitan likuiditas.


Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :

  1. Kebijakan Moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy

Adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang edar

  1. Kebijakan Moneter Kontraktif / Monetary Contractive Policy

Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang edar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy)


Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu antara lain :

  1. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)

Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.

  1. Fasilitas Diskonto (Discount Rate)

Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum kadang-kadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.

  1. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)

Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.

  1. Himbauan Moral (Moral Persuasion)

Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.


Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia.

Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.

Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah.

Read More......

Perdagangan internasional

Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antarperorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Di banyak negara, perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan GDP. Meskipun perdagangan internasional telah terjadi selama ribuan tahun (lihat Jalur Sutra, Amber Road), dampaknya terhadap kepentingan ekonomi, sosial, dan politik baru dirasakan beberapa abad belakangan. Perdagangan internasional pun turut mendorong Industrialisasi, kemajuan transportasi, globalisasi,

Teori Perdagangan Internasional

Menurut Amir M.S., bila dibandingkan dengan pelaksanaan perdagangan di dalam negeri, perdagangan internasional sangatlah rumit dan kompleks. Kerumitan tersebut antara lain disebabkan karena adanya batas-batas politik dan kenegaraan yang dapat menghambat perdagangan, misalnya dengan adanya bea, tarif, atau quota barang impor.

Selain itu, kesulitan lainnya timbul karena adanya perbedaan budaya, bahasa, mata uang, taksiran dan timbangan, dan hukum dalam perdagangan.

Model Ricardian

Model Ricardian memfokuskan pada kelebihan komparatif dan mungkin merupakan konsep paling penting dalam teori pedagangan internasional. Dalam Sebuah model Ricardian, negara mengkhususkan dalam memproduksi apa yang mereka paling baik produksi. Tidak seperti model lainnya, rangka kerja model ini memprediksi dimana negara-negara akan menjadi spesialis secara penuh dibandingkan memproduksi bermacam barang komoditas. Juga, model Ricardian tidak secara langsung memasukan faktor pendukung, seperti jumlah relatif dari buruh dan modal dalam negara.

Model Heckscher-Ohlin

Model Heckscgher-Ohlin dibuat sebagai alternatif dari model Ricardian dan dasar kelebihan komparatif. Mengesampingkan kompleksitasnya yang jauh lebih rumit model ini tidak membuktikan prediksi yang lebih akurat. Bagaimanapun, dari sebuah titik pandangan teoritis model tersebut tidak memberikan solusi yang elegan dengan memakai mekanisme harga neoklasikal kedalam teori perdagangan internasional.

Teori ini berpendapat bahwa pola dari perdagangan internasional ditentukan oleh perbedaan dalam faktor pendukung. Model ini memperkirakan kalau negara-negara akan mengekspor barang yang membuat penggunaan intensif dari faktor pemenuh kebutuhan dan akan mengimpor barang yang akan menggunakan faktor lokal yang langka secara intensif. Masalah empiris dengan model H-o, dikenal sebagai Pradoks Leotief, yang dibuka dalam uji empiris oleh Wassily Leontief yang menemukan bahwa Amerika Serikat lebih cenderung untuk mengekspor barang buruh intensif dibanding memiliki kecukupan modal.

Faktor Spesifik

Dalam model ini, mobilitas buruh antara industri satu dan yang lain sangatlah mungkin ketika modal tidak bergerak antar industri pada satu masa pendek. Faktor spesifik merujuk ke pemberian yaitu dalam faktor spesifik jangka pendek dari produksi, seperti modal fisik, tidak secara mudah dipindahkan antar industri. Teori mensugestikan jika ada peningkatan dalam harga sebuah barang, pemilik dari faktor produksi spesifik ke barang tersebut akan untuk pada term sebenarnya. Sebagai tambahan, pemilik dari faktor produksi spesifik berlawanan (seperti buruh dan modal) cenderung memiliki agenda bertolak belakang ketika melobi untuk pengednalian atas imigrasi buruh. Hubungan sebaliknya, kedua pemilik keuntungan bagi pemodal dan buruh dalam kenyataan membentuk sebuah peningkatan dalam pemenuhan modal. Model ini ideal untuk industri tertentu. Model ini cocok untuk memahami distribusi pendapatan tetapi tidak untuk menentukan pola pedagangan.

Model Gravitasi

Model gravitasi perdagangan menyajikan sebuah analisa yang lebih empiris dari pola perdagangan dibanding model yang lebih teoritis diatas. Model gravitasi, pada bentuk dasarnya, menerka perdagangan berdasarkan jarak antar negara dan interaksi antar negara dalam ukuran ekonominya. Model ini meniru hukum gravitasi Newton yang juga memperhitungkan jarak dan ukuran fisik diantara dua benda. Model ini telah terbukti menjadi kuat secara empiris oleh analisa ekonometri. Faktor lain seperti tingkat pendapatan, hubungan diplomatik, dan kebijakan perdagangan juga dimasukkan dalam versi lebih besar dari model ini.

Manfaat perdagangan internasional

Menurut Sadono Sukirno, manfaat perdagangan internasional adalah sebagai berikut.

  • Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri
    Banyak faktor-faktor yang memengaruhi perbedaan hasil produksi di setiap negara. Faktor-faktor tersebut diantaranya : Kondisi geografi, iklim, tingkat penguasaan iptek dan lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional, setiap negara mampu memenuhi kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri.

  • Memperoleh keuntungan dari spesialisasi
    Sebab utama kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara lain, tapi ada kalanya lebih baik apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar negeri.

  • Memperluas pasar dan menambah keuntungan
    Terkadang, para pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya) dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang mengakibatkan turunnya harga produk mereka. Dengan adanya perdagangan internasional, pengusaha dapat menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual kelebihan produk tersebut keluar negeri.

  • Transfer teknologi modern
    Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih efesien dan cara-cara manajemen yang lebih modern.

Faktor pendorong

Banyak faktor yang mendorong suatu negara melakukan perdagangan internasional, di antaranya sebagai berikut :

Peraturan/Regulasi Perdagangan Internasional

Umumnya perdagangan diregulasikan melalui perjanjian bilatera antara dua negara. Selama berabad-abad dibawah kepercayaan dalam Merkantilisme kebanyakan negara memiliki tarif tinggi dan banyak pembatasan dalam perdagangan internasional. pada abad ke 19, terutama di Britania, ada kepercayaan akan perdagangan bebas menjadi yang terpenting dan pandangan ini mendominasi pemikiran diantaranegara barat untuk beberapa waktu sejak itu dimana hal tersebut membawa mereka ke kemunduran besar Britania. Pada tahun-tahun sejak Perang Dunia II, perjanjian multilateral kontroversial seperti GATT dab WTO memberikan usaha untuk membuat regulasi lobal dalam perdagangan internasional. Kesepakatan perdagangan tersebut kadang-kadang berujung pada protes dan ketidakpuasan dengan klaim dari perdagangan yang tidak adil yang tidak menguntungkan secara mutual.

Perdagangan bebas biasanya didukung dengan kuat oleh sebagian besar negara yang berekonomi kuat, walaupun mereka kadang-kadang melakukan proteksi selektif untuk industri-industri yang penting secara strategis seperti proteksi tarif untuk agrikultur oleh Amerika Serikat dan Eropa. Belanda dan Inggris Raya keduanya mendukung penuh perdagangan bebas dimana mereka secara ekonomis dominan, sekarang Amerika Serikat, Inggris, Australia dan Jepang merupakan pendukung terbesarnya. Bagaimanapun, banyak negara lain (seperti India, Rusia, dan Tiongkok) menjadi pendukung perdagangan bebas karena telah menjadi kuat secara ekonomi. Karena tingkat tarif turun ada juga keinginan untuk menegosiasikan usaha non tarif, termasuk investasi luar negri langsung, pembelian, dan fasilitasi perdagangan. Wujud lain dari biaya transaksi dihubungkan dnegan perdagangan pertemuan dan prosedur cukai.

Umumnya kepentingan agrikultur biasanya dalam koridor dari perdagangan bebas dan sektor manufaktur seringnya didukung oleh proteksi. Ini telah berubah pada beberapa tahun terakhir, bagaimanapun. Faktanya, lobi agrikultur, khususnya di Amerika Serikat, Eropa dan Jepang, merupakan penanggung jawab utama untuk peraturan tertentu pada perjanjian internasional besar yang memungkinkan proteksi lebih dalam agrikultur dibandingkan kebanyakan barang dan jasa lainnya.

Selama reses ada seringkali tekanan domestik untuk meningkatkan tarif dalam rangka memproteksi industri dalam negri. Ini terjadi di seluruh dunia selama Depresi Besar membuat kolapsnya perdagangan dunia yang dipercaya memperdalam depresi tersebut.

Regulasi dari perdagangan internasional diselesaikan melalui World Trade Organization pada level global, dan melalui beberapa kesepakatan regional seperti MerCOSUR di Amerika Selatan, NAFTA antara Amerika Serikat, Kanada dan Meksiko, dan Uni Eropa anatara 27 negara mandiri. Pertemuan Buenos Aires tahun 2005 membicarakan pembuatan dari Free Trade Area of America (FTAA) gagal total karena penolakan dari populasi negara-negara Amerika Latin. Kesepakatan serupa seperti MAI (Multilateral Agreement on Invesment) juga gagal pada tahun-tahun belakangan ini.


Read More......

Perekonomian Penerimaan Negara

Sejak Repelita I penyempurnaan pengelolaan keuangan negara dengan tetap berpedoman pada asas anggaran pendapatan dan belanja negara yang berimbang dan dinamis terus diupayakan. Upaya ini ditingkatkan lagi dalam 5 tahun terakhir ini. Kebijaksanaan keuangan negara dilaksanakan seiring dan saling mendukung dengan kebijaksanaan moneter dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan lainnya untuk melaksanakan Trilogi Pembangunan sehingga pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi berjalan seiring dengan pemerataan pembangunan yang makin meluas dan stabilitas ekonomi yang dinamis dan mantap.


1. Penerimaan Dalam Negeri


Salah satu sasaran penting dari langkah-langkah kebijaksanaan di bidang keuangan negara sejak Repelita I adalah meningkatkan seluruh unsur penerimaan dalam negeri, terutama yang berasal dari sumber-sumber non migas dan lebih khususnya dari penerimaan pajak, sehingga kemandirian

d


alam pembiayaan pembangunan terutama untuk sektor negara makin mantap sedangkan ketergantungan pada sumber-sumber migas makin berkurang. Langkah mendasar yang telah dilakukan untuk meningkatkan penerimaan dari pajak adalah melalui pembaharuan sistem perpajakan yang dimulai sejak tahun 1984. Pelaksanaan selama lima tahun terakhir ini dipusatkan pada usaha-usaha untuk menyempurnakan mekanisme perpajakan agar sistem perpajakan menjadi semakin sederhana, efektif, mudah dipahami dan adil. Selain itu, penerimaan pajak terus ditingkatkan baik melalui intensifikasi pemungutannya maupun ekstensifikasi wajib pajaknya. Langkah ini merupakan kelanjutan dari pembaharuan sistem perpajakan yang telah dilaksanakan sejak tahun 1984. Sementara itu, penerimaan bukan pajak terus dimantapkan melalui peningkatan efisiensi BUMN dan intensifikasi penerimaan rutin dari departemen dan non departemen. Dari unsur penerimaan minyak bumi dan gas alam, berbagai upaya dilaksanakan untuk tetap dapat mengerahkannya secara maksimal.


Dengan berbagai langkah tersebut, penerimaan dalam negeri telah meningkat cukup pesat. Hal ini tercermin pada meningkatnya jumlah penerimaan dalam negeri yang pada tahun 1968 baru mencapai Rp 149,7 miliar, menjadi Rp 46,5 triliun dalam APBN tahun 1992/93, atau meningkat sebesar lebih dari 300 kali. Sementara itu dalam kurun waktu lima tahun terakhir, walaupun harga minyak tidak mengalami kenaikan lagi yakni berfluktuasi sekitar US$ 17 per barel, penerimaan dalam negeri masih meningkat lebih dari 2 kali lipat dari Rp 20,8 triliun pada tahun 1987/88 menjadi Rp 46,5 triliun dalam APBN 1992/93. Perkembangan penerimaan dalam negeri yang terdiri dari penerimaan migas dan penerimaan di luar migas dapat dilihat pada Tabel IV-2 dan Grafik IV-2.


2.1. Penerimaan Minyak Bumi dan Gas Alam


Sejak Repelita I berbagai upaya telah dilaksanakan untuk mendorong kegiatan sektor migas. Langkah tersebut, sejak tahun 1971 dilengkapi dengan upaya untuk memperoleh syarat-syarat yang lebih menguntungkan dalam pembagian hasil. Mulai Repelita III, dengan semakin besarnya produksi dari negara-negara bukan anggota OPEC, harga minyak bumi dan gas alam menunjukkan kecenderungan yang menurun. Menyadari hal tersebut, pada kuartal terakhir 1982/83 OPEC menerapkan kuota produksi yang rendah kepada anggota-anggotanya. Namun harga minyak cenderung menurun terus. Oleh karena itu selama 5 tahun terakhir upaya untuk

TABEL IV - 2

1)

PENERIMAAN DALAM NEGERI,

1968 - 1992/93 (miliar rupiah)




Akhir

Akhir

Akhir


Akhir


Repelita V



Jenis Penerimaan

1968

Repelita I

Rapelita II

Repelita III

1987/88

Repelita IV




2)




(1973/74)

(1978/79)

(1983/84)


(1988/89)

1989/90

1990/91

1991/92

1992/93

1.

Penerimaan minyak bumi

dan gas alam

33,3

382,2

2.308,7

9.520,2

10.047,2

9.527,0

11.252,1

17.711,9

15.039,1

13.947,5


Minyak bumi

(33,3)

(382,2)

(2.308,7)

(8.484,9)

(8.719,7)

(8.326,3)

(9.502,0)

(14.577,5)

(12.481,3)

(11.200,8)


Gas alam

(-)

(-)

(-)

(1.035,3)

(1.327,5)

(1.200,7)

(1.750,1)

(3.134,4)

(2.557,8)

(2.746,7)

2.

Penerimaan di luar












minyak bumi dan gas alam

116,4

585,5

1.957,4

4.912,5

10.756,1

13.477,3

17.487,7

21.834,5

26.545,7

32.560,9


Jumlah

149,7

967,7

4.266,1

14.432,7

20.803,3

23.004,3

28.739,8

39.546,4

41.584,8

46.508,4


1) Angka tahunan.

2) APBN.










IV/13

GRAFIK IV 2
PENERIMAAN DALAM NEGERI,
1968 - 1992/93

1968 1973/74 1978/79 1983/84 1988/89 1992/93

IV/14

Migas Nonmigas

m

IV/15

enggalang persatuan di negara-negara OPEC dalam rangka memelihara tingkat harga yang wajar terus dilanjutkan.


Penerimaan dari migas juga dipengaruhi oleh kapasitas produksi dan tingkat konsumsi BBM dalam negeri, Upaya untuk mengembangkan kapasitas sektor migas yang telah dilaksanakan sejak Repelita I telah berhasil meningkatkan produksi minyak bumi dari 219,9 juta barel dalam tahun 1968 menjadi 616,5 juta barel dalam tahun 1977/78. Sejak itu produksi minyak mulai menurun yang disebabkan oleh penurunan produksi secara alamiah dari lapangan-lapangan minyak tua. Sementara itu konsumsi dalam negeri meningkat terus. Pada tahun 1987/88 produksi minyak bumi menjadi 507,9 juta barel sehingga kapasitas ekspor juga turun. Untuk itu selama 5 tahun terakhir telah dilaksanakan berbagai langkah untuk menjamin kelangsungan produksi dan menghemat penggunaan BBM.


Salah satu upaya penting dalam menjamin kelangsungan produksi minyak bumi dan gas alam adalah dengan menciptakan iklim yang merangsang bagi investasi di bidang perminyakan, terutama dalam rangka mengembangkan eksplorasi minyak lahan baru di wilayah baru (frontier). Dalam bulan September 1988 ditetapkan persyaratan baru kontrak bagi hasil. Dalam ketentuan tersebut kontraktor diberikan beberapa insentif berupa perlakuan khusus di bidang perpajakan, penyempurnaan pola bagi hasil, penyesuaian harga prorata, dan kemudahan dalam pengadaan barang untuk keperluan eksplorasi. Khusus untuk wilayah kawasan Timur Indonesia, dalam bulan Pebruari 1989 telah dikeluarkan kebijaksanaan penyempurnaan insentif bagi kontrak bagi hasil. Dalam ketentuan ini perbandingan bagi hasil untuk kontrak baru atas daerah yang sudah diketahui (konvensional) adalah 80% pemerintah dan 20% kontraktor, sedangkan bagi kontrak baru atas lahan di wilayah baru adalah 75% pemerintah dan 25% kontraktor.


Langkah-langkah tersebut dilanjutkan dengan paket insentif yang berlaku surut sejak 1 Januari 1992. Paket ini terdiri dari 9 bagian dan berlaku untuk lahan baru di wilayah baru, lahan lama dan perpanjangan, serta lahan baru di daerah yang sudah diketahui. Paket insentif tersebut antara lain berupa bagi hasil gas yang sebelumnya 70% untuk pemerintah dan 30% untuk kontraktor, kini untuk lahan baru di wilayah baru perbandingan penerimaan hasilnya menjadi 60% untuk pemerintah dan 40% untuk kontraktor, sedangkan untuk lahan baru di daerah yang sudah

d

IV/16

iketahui adalah 65% untuk pemerintah dan 35% untuk kontraktor. Kemudian untuk bagi hasil minyak bumi di wilayah baru, apabila pada waktu yang lalu dibagi menurut produksi minyak per hari, kini disama ratakan, yaitu 80% untuk pemerintah dan 20% untuk kontraktor. Bagi hasil minyak untuk pengembangan lapangan di kedalaman laut lebih dari 1.500 meter yang sebelumnya juga dibagi menurut produksi perhari, kini untuk lahan lama dan perpanjangan, serta lahan baru di wilayah baru disamakan, yaitu 75% untuk pemerintah dan 25% untuk kontraktor.


Dengan diberikannya insentif tersebut Indonesia diharapkan tetap menarik sebagai tempat penanaman modal bidang migas di kawasan Asia Pasifik, mengingat beberapa negara tetangga juga telah menyediakan perangsang cukup besar bagi investor asing di bidang eksplorasi minyak dan gas bumi. Dengan demikian sumber-sumber dari migas tetap dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya sebagai salah satu sumber penerimaan dalam negeri yang penting.


Berbagai insentif yang telah diberikan seperti tersebut di atas telah berhasil meningkatkan volume produksi dan ekspor migas. Selama periode 1987/88-1991/92 produksi minyak bumi (termasuk kondensat) meningkat 3,1% per tahun. Walaupun demikian penerimaan negara dari migas selama 5 tahun terakhir mengalami pasang surut sesuai dengan perkembangan harga migas di pasaran internasional. Perkembangan yang menonjol adalah sehubungan dengan timbulnya krisis Teluk dalam bulan Agustus 1990 yang telah meningkatkan harga minyak dunia. Sebagai akibatnya harga ekspor minyak Indonesia juga meningkat dalam bulan Oktober 1990 mencapai harga US$ 35,29 per barel. Lonjakan harga minyak tersebut meningkatkan penerimaan migas pada tahun anggaran 1990/91 menjadi sebesar Rp 17,7 triliun atau naik 57,4% dari tahun sebelumnya. Selanjutnya dalam tahun 1991/92, dengan berakhirnya Krisis Teluk, harga minyak merosot lagi dan berfluktuasi pada tingkat yang lebih rendah. Secara keseluruhan dalam tahun 1991/92 rata-rata harga minyak Indonesia mencapai US$ 18,55 per barel dengan penerimaan migas berjumlah Rp 15,0 triliun atau turun 15,1 % dari tahun sebelumnya. Dengan asumsi tingkat rata-rata harga minyak sekitar US$ 18 per barel, penerimaan migas dalam APBN 1992/93 diperkirakan dapat mencapai Rp 13,9 triliun.


2.2. Penerimaan di Luar Minyak Bumi dan Gas Alam


Sejak Repelita I, langkah-langkah untuk meningkatkan penerimaan di

l

IV/17

uar migas terus diupayakan. Upaya tersebut menjadi semakin penting dengan menurunnya harga minyak di pasaran internasional mulai tahun 1982. Dengan perkembangan itu, keuangan negara makin mengandalkan pada penerimaan dalam negeri di luar migas, terutama penerimaan pajak. Dalam kurun waktu 1968-1983/84 penerimaan di luar migas mengalami peningkatan rata-rata sebesar 26,7% per tahun, yaitu dari Rp. 77,9 miliar menjadi Rp 4,9 triliun. Walaupun demikian peranannya dalam penerimaan dalam negeri semakin menurun dari 73,0% menjadi 34,0%, karena dalam periode tersebut terjadi peningkatan penerimaan migas yang cukup tinggi. Sejak tahun 1984/85, yaitu tahun pertama diberlakukannya undang-undang perpajakan yang baru, peranan penerimaan sektor non migas menjadi semakin besar. Pada tahun 1984/85 penerimaan non migas adalah sebesar Rp 5,5 triliun atau 34,4% dari penerimaan dalam negeri dan meningkat menjadi Rp. 10,8 triliun pada tahun 1987/88 atau 51,7% dari penerimaan dalam negeri. Selama 5 tahun terakhir, penerimaan di luar migas telah meningkat dengan pesat, yaitu rata-rata sebesar 24,7% per tahun, dari Rp 10,8 triliun pada tahun 1987/88, menjadi Rp 32,6 triliun dalam APBN tahun 1992/93. Peningkatan ini terutama berasal dari penerimaan pajak, yang meningkat dari Rp 8,8 triliun menjadi Rp 28,9 triliun atau rata-rata meningkat dengan 26,8% per tahun. Seiring dengan itu peranan penerimaan di luar migas dalam penerimaan dalam negeri telah meningkat dari 48,3% dalam tahun 1987/88 menjadi 70,0% dalam APBN 1992/93. Seperti telah disebutkan di atas hasil-hasil tersebut terutama merupakan hasil dari upaya-upaya penyempurnaan peraturan perundang-undangan, peningkatan pelayanan pajak, intensifikasi pemungutan pajak, pengawasan administratif khususnya atas wajib pajak potensial, serta meningkatnya kesadaran wajib pajak. Dalam rangka meningkatkan pemahaman terhadap pajak, secara intensif telah dilakukan berbagai upaya penyuluhan pajak, baik yang dilakukan oleh aparat perpajakan sendiri maupun yang dilakukan dengan bekerja sama dengan unsur media massa. Di samping itu perbaikan pelayanan bagi wajib pajak terus dilakukan melalui penyempurnaan dan peningkatan administrasi perpajakan dan kemampuan aparatur pajak.


Salah satu unsur penerimaan pajak yang perkembangannya paling pesat sejak diterapkan sistem perpajakan yang baru adalah penerimaan Pajak Penghasilan (PPh), yang mulai berlaku pada tahun 1984 berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983. Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 ini, PPh ditampung dalam pemungutan Pajak Pendapatan (PPd), Pajak Perseroan (PPs), MPO dan Pajak atas Bunga

D

IV/18

ividen dan Royalty (PBDR). Dalam tahun 1968 realisasi penerimaan ekuivalen PPh baru mencapai Rp 25,3 miliar yang meningkat menjadi Rp 2.212,0 miliar dalam tahun 1984/85. Memasuki tahun keempat sejak berlakunya undang-undang perpajakan yang baru (tahun 1987/88) penerimaan PPh mencapai Rp 2,7 triliun, atau meningkat sebesar rata-rata 5% per tahun. Dalam APBN tahun 1992/93 jumlah penerimaannya diperkirakan menjadi Rp 10,9 triliun, atau meningkat sebesar rata-rata 32,1% per tahun sejak tahun 1987/88. Hasil-hasil tersebut terutama merupakan hasil dari berbagai langkah penting di bidang ini, termasuk upaya perluasan wajib pajak dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan dan pelaksanaan PPh. Beberapa dari langkah-langkah penting di bidang pelaksanaan PPh ini adalah sebagai berikut.


Dalam rangka perluasan wajib pajak PPh, melalui PP Nomor 13 Tahun 1988 dikenakan pajak penghasilan sebesar 15% dan bersifat final, dengan kemungkinan restitusi Atas Bunga Deposito Berjangka, Sertifikat Deposito, dan Tabungan. Upaya meningkatkan penerimaan pajak dilakukan dengan tetap mempertimbangkan aspek pemerataan dan keadilan. Untuk itu Tabanas/Taska, simpanan pedesaan, tabungan uang muka kredit pemilikan rumah, tabungan naik haji, dan tabungan kecil lainnya, dibebaskan dari ketentuan ini. Sesuai dengan PP Nomor 74 Tahun 1991, wajib pajak badan (perusahaan) atas penerimaan bunga tersebut di atas yang sebelumnya dikenakan tarif 15% dan bersifat final, sejak 1 Januari 1992 dikenakan tarif berjenjang dan tidak bersifat final. Bagi bunga deposito dan tabungan di bawah Rp 5 juta wajib pajak perorangan dikenakan pajak 15% final. Adapun pengenaan pajak penghasilan terhadap penerimaan yang diperoleh penabung kecil (saldo bulanan tertinggi kurang dari Rp 1 juta), dana pensiun, gerakan pramuka, PMI dan pemilikan rumah sederhana tetap ditangguhkan.


Selanjutnya melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991, dilaksanakan penyempurnaan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983, yang antara lain mengatur PPh terhadap deviden yang diterima badan usaha dalam negeri dari penyertaan modal pada badan usaha lainnya yang didirikan di Indonesia serta terhadap perusahaan reksa dana dan modal ventura. Dalam rangka mendorong kegiatan ekonomi di daerah terpencil, UU tersebut juga memberikan insentif pajak penghasilan berupa pengurangan dari kewajiban pajaknya bagi pemberi kerja yang memberikan imbalan berbentuk natura kepada karyawannya serta kemudahan dalam menggunakan metode

p

IV/19

enyusutan dan amortisasi. Di samping itu dengan kecenderungan yang meningkat dari badan usaha swasta yang melakukan pemindahtanganan harta atau akuisisi, ditegaskan kembali berlakunya PPh atas pemindahan harta dalam bentuk penjualan, pengalihan/tukar menukar, hibah, warisan, dan penyertaan dalam bentuk harta (in-kind participation). Penegasan ini dimaksudkan untuk mengamankan penerimaan negara, serta agar terdapat kepastian hukum mengenai berlakunya peraturan perpajakan atas pemindah­tanganan harta.


Sementara itu sejalan dengan perkembangan tingkat inflasi selama masa kepemilikan harta, secara periodik dilakukan penyesuaian terhadap harga atau nilai perolehan dari harta berupa tanah dan/atau bangunan. Hal ini diatur melalui PP Nomor 42 Tahun 1985, dan yang terakhir melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1075 Tahun 1992 yang berlaku untuk tahun pajak 1992.


Kebijaksanaan lain untuk mempertahankan aspek keadilan dan pemerataan ditempuh melalui penyesuaian Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP). Kalau sebelum berlakunya undang-undang baru besarnya PTKP untuk keluarga yang terdiri atas suami, istri, serta tiga orang anak adalah sebesar Rp 1.050.000,- maka sejak tanggal 1 April 1984 PTKP tersebut telah meningkat menjadi Rp 2.880.000,- dan pada tahun 1990 dinaikkan lagi menjadi sebesar Rp 4.320.000,-.


Sementara itu perkembangan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga menunjukkan peningkatan yang cukup pesat. Pajak pertambahan nilai merupakan penyempurnaan dari pajak penjualan (PPn) dan mulai diberlakukan pada tahun anggaran 1985/86. Makin efektifnya PPN dibandingkan dengan PPn dapat dilihat dari perkembangannya selama periode 1968-1992/93. Dalam tahun 1968, jumlah penerimaan ekuivalen PPN adalah sebesar Rp 15,2 miliar dan meningkat menjadi Rp 878,0 miliar pada tahun 1984/85. Sedang dalam APBN tahun 1992/93 jumlahnya diperkirakan dapat mencapai Rp 11.032,2 miliar yang merupakan peningkatan sebesar lebih dari 12 kali lipat dibandingkan dengan realisasinya dalam tahun 1984/85.


Sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, hingga saat ini masih berlaku tarif tunggal sebesar 10% untuk PPN

b

IV/20

arang dan jasa. Sedangkan tarif pajak penjualan atas barang mewah yang semula adalah 10% dan 20%, melalui PP Nomor 29 Tahun 1988 telah disesuaikan menjadi 10%, 20%, dan 30% tergantung pada tingkat kemewahannya dan selanjutnya terakhir disempurnakan dengan PP Nomor 76 Tahun 1992 menjadi 10%, 20% dan 35%.


Peningkatan penerimaan PPN juga diupayakan melalui ekstensifikasi obyek pajak. Melalui PP Nomor 75 Tahun 1991 yang diberlakukan sejak 1 April 1992, pedagang eceran besar (PEB) dengan omset paling sedikit Rp 1 miliar dalam setahun dikenakan PPN. Dengan kebijaksanaan tersebut berarti ruang lingkup pengenaan PPN telah meliputi seluruh mata rantai produksi mulai dari tingkat pabrikan, grosir, sampai pedagang eceran. Pengenaan PPN terhadap pedagang eceran memerlukan langkah-langkah penyempurnaan dalam pelaksanaannya, dan hal ini terus diupayakan.


Sementara itu, sejalan dengan perkembangan perekonomian, batasan dan ukuran pengusaha kecil telah disesuaikan. Dalam SK Menteri Keuangan Nomor 1288 Tahun 1991 ditetapkan batasan pengusaha kecil yang bebas dari kewajiban menyerahkan pajak pertambahan nilai dinaikkan dua kali lipat, yaitu menjadi Rp 120 juta untuk peredaran bruto Barang Kena Pajak dan Rp 60 juta untuk penyerahan Jasa Kena Pajak.


Selain langkah-langkah tersebut di atas, untuk makin memantapkan pelaksanaan PPN, juga dilakukan kerja sama dengan Bulog dalam rangka mengamankan penerimaan PPN yang hams dibayar oleh penyalur dan grosir gula pasir dan terigu. Sedangkan untuk menghindari penyelundupan pajak dilakukan verifikasi silang antara data PPN dan SPT PPh dan verifikasi lapangan atas Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dengan langkah-langkah penyempurnaan tersebut PPN masih tetap diharapkan sebagai salah satu sumber penerimaan pajak andalan di waktu-waktu mendatang.


Jenis pajak lainnya yang menunjukkan kecenderungan terus meningkat adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). PBB merupakan jenis pajak lain lagi yang mulai diberlakukan dalam tahun 1986 dalam rangka pembaharuan sistem perpajakan. PBB diterapkan berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985, yang sebelumnya meliputi Ipeda dan Pajak Kekayaan. Pemungutan PBB diserahkan pada Pemda setempat sedang lebih dari 60% atas hasil penerimaannya dapat langsung dipergunakan oleh Dati II yang bersangkutan. Makin efektifnya jenis penerimaan ini dalam bentuk

P

IV/21

BB dibandingkan dengan bentuk sebelumnya dapat dilihat dari perkembangannya selama periode 1968-1992/93. Dalam tahun 1968 jumlah ekuivalen PBB baru mencapai Rp 0,1 miliar yang meningkat menjadi Rp 275,1 miliar pada tahun 1987/88 untuk kemudian melonjak menjadi Rp 990,6 miliar dalam APBN tahun 1992/93.


Kebijaksanaan di bidang PBB selain ditujukan untuk meningkatkan penerimaan negara juga ditujukan untuk meningkatkan produktivitas tanah dan bangunan. Upaya ini dilakukan melalui penyesuaian klasifikasi Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). Kebijaksanaan pengenaan PBB yang sebelumnya mengacu kepada SK Menteri Keuangan Nomor 1324 Tahun 1988, sejak tanggal 22 Nopember 1991 diperbarui dengan SK Menteri Keuangan Nomor 1147 Tahun 1991. Berdasarkan peraturan yang baru tersebut, NJOP untuk tanah perkebunan, perhutanan, pertambangan, dan tanah peternakan disem­purnakan, sedangkan NJOP tanah pedesaan tidak mengalami perubahan. Sementara itu tarif PBB masih tetap tunggal yaitu 0,5% dari nilai jual kena pajak (NJKP), yang berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 1985 ditetapkan sebesar 20% dari NJOP. Dalam rangka mengurangi beban pajak PBB masyarakat berpendapatan rendah, melalui SK Menteri Keuangan Nomor 1291 Tahun 1991 batas nilai jual bangunan tidak kena pajak yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1992 dinaikkan dari Rp 3,5 juta menjadi Rp 7,0 juta untuk setiap satuan bangunan.


Selanjutnya, untuk memantapkan pelaksanaan PBB, sistem tempat pembayaran (Sistep) terus dikembangkan. Hal ini dimaksudkan untuk makin memperlancar pembayaran PBB oleh masyarakat melalui tempat-tempat pembayaran tertentu dengan dukungan komputerisasi data piutang. Sampai dengan tahun 1992 Sistep telah dikembangkan di 181 Dati II, dan dalam tahun 1993 akan dikembangkan lagi di 119 Dati II, sehingga dalam tahun anggaran 1993/94 diharapkan Sistep sudah dilaksanakan secara nasional.


Penerimaan di luar migas lain yang cukup penting adalah bea masuk. Melalui berbagai langkah deregulasi, terutama sejak tahun 1986, kebijaksanaan bea masuk makin diarahkan sebagai pengatur arus dan pola impor barang agar mampu mendorong peningkatan efisiensi industri dalam negeri, peningkatan ekspor non migas dan penciptaan lapangan kerja yang makin luas. Meskipun demikian peranannya sebagai sumber penerimaan negara tetap penting. Penerimaan bea masuk yang dalam tahun 1968 baru mencapai Rp 37,3 miliar, dalam tahun 1986/87 telah meningkat menjadi

R

IV/22

p 960,1 miliar. Penerimaan bea masuk meningkat dari Rp 1,0 triliun pada tahun 1987/88 menjadi Rp 3,0 triliun dalam APBN 1992/93. Peningkatan penerimaan ini antara lain di sebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang cepat, terutama selama 3 tahun terakhir, dan sebagai hasil dari meningkatnya efisiensi pelaksanaan pemungutan bea masuk.


Penerimaan non migas yang cukup penting lainnya adalah dari cukai. Perkembangan penerimaan cukai selama periode 1968-1992/93 disesuaikan dengan peranannya tidak hanya sebagai sumber penerimaan negara tetapi juga sebagai pengatur kegiatan konsumsi dan produksi masyarakat yang menyangkut tembakau, gula, bir dan alkohol sulingan. Kalau dalam tahun 1968 jumlah penerimaan cukai baru sebesar Rp 16,6 miliar, maka pada tahun 1983/84 realisasinya telah mencapai Rp 773,2 miliar, atau meningkat sebesar rata-rata 29,2% per tahun. Selama 5 tahun terakhir penerimaan cukai meningkat dengan rata-rata sebesar 16,9% per tahun dari Rp 1,1 triliun dalam tahun 1987/88 menjadi Rp 2,4 triliun dalam APBN tahun 1992/93. Berbagai perkembangan panting pelaksanaan cukai adalah sebagai berikut. Dengan SK Menteri Keuangan Nomor 336 Tahun 1991 telah diatur kembali struktur tarif cukai tembakau yang semula berdasarkan pada strata jenis produksi total selama satu tahun takwim. Untuk jenis sigaret kretek yang diproduksi tanpa mesin, sampai dengan produksi tidak lebih dari 50 juta batang setahun dikenakan tarif cukai sebesar 0,5%; dan pabrikan yang memproduksi di atas 30 miliar batang setahun dikenakan tarif 17,5%. Untuk sigaret kretek mesin dengan tingkat produksi di atas 30 miliar batang setahun dikenakan tarif 37,5%. Selanjutnya untuk menjaga keseimbangan perkembangan produksi sigaret putih mesin dengan sigaret kretek mesin, melalui SK Menteri Keuangan Nomor 1181 Tahun 1991, sigaret putih mesin berdasarkan harga eceran per batang sampai dengan Rp 45,-, antara Rp 45,-dan Rp 65,- serta di atas Rp 65,- masing-masing dikenakan tarif cukai sebesar 22,5%, 35% dan 37,5%.


Salah satu obyek cukai yang panting adalah gula. Penetapan cukai gula diarahkan untuk mewujudkan tingkat harga gula yang terjangkau masyarakat dan sekaligus mampu menjamin pendapatan petani dan industri gula. Penyesuaian harga dasar terakhir dilakukan melalui SK Menkeu Nomor 43 Tahun 1991. Tarif cukai untuk semua jenis gula ditetapkan sama sebesar 4% dari harga dasarnya. Penyesuaian harga dasar juga diterapkan untuk alkohol sulingan, yang terakhir dilakukan melalui SK Menteri Keuangan Nomor 560 Tahun 1991. Harga dasar alkohol sulingan dinaikkan

d

IV/23

ari Rp 600,- menjadi Rp 800,- per liter dengan tarif cukai 70% dari harga dasarnya. Sedangkan, harga dasar cukai bir tetap ditentukan sebesar Rp 750,- dengan tarif 50% dari harga dasarnya.


Penerimaan pajak ekspor yang terus meningkat dari Rp 13,9 miliar dalam tahun 1968 menjadi Rp 104,0 miliar dalam tahun 1983/84 kemudian menurun sampai mencapai Rp 78,8 miliar pada tahun 1986/87. Kecuali peningkatan kembali menjadi sebesar Rp 183,5 miliar pada tahun 1987/88 perkembangan selanjutnya adalah terus menurun sehingga mencapai Rp 18,8 miliar dalam tahun 1991/92. Hal ini sejalan dengan pola perkembangan ekspor non migas yang makin mengandalkan pada hasil industri pengolahan yang tidak dikenakan pajak ekspor. Sejak tahun 1986 berbagai komoditi ekspor yang diolah menjadi barang jadi atau barang industri, sehingga tidak dikenakan pajak ekspor, telah meningkat dengan sangat pesat. Sejalan dengan perkiraan kenaikan komoditi ekspor yang kena pajak, dalam APBN 1992/93, penerimaan pajak ekspor diperkirakan mencapai Rp 60,0 miliar.


Penerimaan pajak lainnya mencakup penerimaan dari bea meterai dan bea lelang. Penerimaan pajak ini meningkat dari Rp 222,9 miliar pada tahun 1987/88 menjadi Rp 354,5 miliar dalam APBN tahun 1992/93 yang pada tahun 1968 baru sebesar Rp 3,4 miliar. Upaya-upaya pengembangannya mencakup antara lain peningkatan pengawasan atas pelaksanaan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai, pencegahan dan pemberantasan beredarnya meterai tempel palsu, serta penertiban dan penyempurnaan pelaksanaan lelang.


Penerimaan bukan pajak terdiri dari penerimaan-penerimaan departemen dan lembaga pemerintah non departemen, serta penerimaan bagian pemerintah atas laba BUMN termasuk bank-bank pemerintah. Sejalan dengan kebijaksanaan di bidang perpajakan, penerimaan bukan pajak juga selalu diupayakan peningkatannya. Peningkatan penerimaan bukan pajak dari departemen dan lembaga pemerintah non departemen dilakukan melalui penyempurnaan administrasi dan tats cara penyetoran, serta peningkatan pengawasan di dalam pelaksanaannya. Sedangkan upaya peningkatan penerimaan bukan pajak yang berasal dari bagian pemerintah atas laba BUMN dilakukan melalui peningkatan efisiensi operasional dan pe­nyempurnaan manajemen BUMN. Dengan upaya-upaya tersebut realisasi penerimaan bukan pajak meningkat dari Rp 4,7 miliar pada tahun 1968 menjadi Rp 2,0 triliun pada tahun 1987/88 dan diperkirakan akan mencapai

TABEL IV – 3

1)

PENERIMAAN DI LUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM,

1968 – 1992/93

(miliar rupiah)

  1. Angka tahunan

  2. APBN

  3. Sebelum Repelita IV terdiri dari Pajak Pendapatan, Pajak Perseroan, Menghitung Pajak Orang (MPO),
    dan Pajak atas Dividen, Bunga dan Royalti (PDBR)

  4. Sebelum tahun 1985/86 terdiri dari Pajak Penjualan dan Pajak Penjualan Impor

  5. Sebelum 1 Januari 1986 termasuk Pajak Kekayaan

  6. Sebelum 1 Januari 1986 hanya merupakan penerimaan Ipeda. Sejak pelaksanaan UU tentang PBB.
    (1 Januari 1986), jumlah penerimaan ini menggantikan Ipeda dan Pajak Kekayaan

  7. Termasuk laba bersih minyak sebesar Rp. 801 miliar


IV/24

GRAFIK IV – 3

PENERIMAAN DILUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM,

1968 – 1992/93
















IV/25

R

IV/26

p 3,7 triliun dalam APBN tahun 1992/93. Secara keseluruhan perkem­bangan penerimaan di luar migas dapat dilihat pada Tabel IV-3 dan Grafik IV-3.



untuk lebih jelasnya silahkan download File d bawah ini: http://www.4shared.com/document/FjvgrTbm/Penerimaan_negara.html

Read More......

STRUKTUR PRODUKSI, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DISTRIBUSI PENDAPATAN

Ketidakmerataan Distribusi Pendapatan

Penghapusan kemiskinan dan berkembangnya ketidakmerataan pembagian pendapatan merupakan inti permasalahan pembangunan. Walaupun titik perhatian utama pada ketidakmerataan distribusi pendapatan dan harta kekayaan, hal tersebut hanyalah merupakan sebagian kecil dari masalah ketidakmerataan yang lebih luas di negara-negara sedang berkembang.

Melalui pemahaman yang mendalam terhadap masalah ketidakmerataan dan kemiskinan ini memberikan dasar yang baik untuk menganalisis msalah pembangunan yang lebih khusus seperti : pertumbuhan populasi; pengangguran; pembangunan perdesaan; pendidikan; perdagangan internasional, dan sebagainya.


Secara umum yang menyebabkan ketidakmerataan distribusi pendapatan di negara-negara sedang berkembang adalah :

1) Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan per kapita.

2) Inflasi, dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang.

3) Ketidakmerataan pembangunan antar daerah.

4) Investasi ditanamkam pada proyek-proyek yang padat modal, sehingga persentase pendapatan dari dari harta tambahan besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah.

5) Rendahnya mobilitas sosial.

6) Pelaksanaan kebijaksanaan industri subsitusi impor yang mengakibatkan kenaikan harga-harga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis.

7) Memburuknya nilai tukar (terms of trade) bagi negara-negara sedang berkembang dalam perdagangan dengan negara-negara maju, sebagai akibat ketidak elatisitasan permintaan negara-negara maju terhadap barang-barang ekspor negara sedang berkembang.

8) Hancurnya industri-industri kerajinan rakyat seperti industri rumah tangga.



DISTRIBUSI PENDAPATAN PERORANGAN

Ukuran distribusi pendapatan perorangan merupakan ukuran yang paling umumnya digunakan oleh para ekonom. Cara yang sering digunakan untuk menganalisis distribusi pendapatan perseorangan adalah dengan membuat Kurve Lorenz. Dinamakan Kurve Lorenz adalah karena yang memperkenalkan kurve tersebut adalah Conrad Lorenz seorang ahli statistika dari Amerika Serikat. Ia menggambarkan hubungan antara kelompok-kelompok penduduk dan pangsa (share) pendapatan mereka. Jumlah penerima pendapatan digambarkan pada sumbu horizontal, tidak dalam angka mutlak tetapi dalam persentase kumulatif. Misalnya titik 20 menunjukkan 20 persen penduduk termiskin (paling rendah pendapatannya) dan pada titik 60 menunjukkan 60 persen penduduk terbawah pendapatannya, dan pada ujung sumbu horizontal menunjukkan jumlah 100 persen penduduk yang dihitung pendapatannya.


Sumbu vertikal menunjukkan pangsa pendapatan yang diterima oleh masing-masing persentase jumlah penduduk. Jumlah ini juga kumulatif sampai 100 persen, dengan demikian kedua sumbu ini sama panjangnya dan akhirnya membentuk bujur sangkar.

Sebuah garis diagonal kemudian digambarkan melalui titik pusat menuju sudut atas dari bujur sangkar tersebut. Setaip titik pada garis diagonal tersebut menunjukkan persentase pendapatan yang diterima sama persis dengan persentase penerima pendapatan tersebut. Dengan kata lain, garis diagonal tersebut menunjukkan distribusi pendapatan dalam keadaan “kemerataan sempurna” (perfect equality). Oleh karena itu, garis disebut bisa disebut sebagai garis kemerataan sempurna.


Semakin jauh kurva lorenz tersebut dari garis diagonal (ketidakmerataan sempurna), semakin tinggi derajat ketidakmerataan yang ditunjukkan. Keadaan yang paling ekstrim dari ketidakmerataan sempurna misalnya keadaan dimana seluruh pendapatan hanya diterima oleh satu orang dan ini akan ditunjukkan oleh berimpitnya kurva lorenz tersebut dengan sumbu horizontal bagian bawah dan sumbu vertikal sebelah kanan.


Sehubungan itu, tidak ada suatu negarapun yang mengalami kemerataan sempurna ataupun ketidakmerataan sempurna dalam distribusi pendapatan, maka kurve lorenz untuk setiap negara akan terletak di sebelah kanan kurve diagonal tersebut. Semakin tinggi derajat ketidakmerataan, kurve lorenz itu akan semakin melengkung dan semakin mndekati sumbu horizontal sebelah kanan.

Koefisien Gini

Suatu ukuran yang singkat mengenai derajat ketidakmerataan distribusi pendapatan dalam suatu negara bisa diperoleh dengan menghitung luas daerah antara garis diagonal (kemerataan sempurna) dengan kurve Lorenz dbandingkan dengan luas total dari separuh bujur sangkar dimana terdapat kurve Lorenz tersebut.

Dalam gambar 2, koefisien gini ditunjukkan oleh perbandingan antara daerah yang diarsir A dengan luas segi tiga BCD. Koefisien gini diambil dari nama ahli stastistik Italia yang bernama C. Gini yang menemukan rumus tersebut pada tahun 1912.



Koefisien gini ini merupakan ukuran ketidakmerataan agregat dan nilainya terletak antara 0 (kemerataan sempurna) sampai 1 (ketidakmerataan sempurna). Negara-negara yang mengalami ketidakmerataan tinggi memiliki koefisien gini berkisar antara 0,50 – 0,70; ketidak merataan menengah berkisar antara 0,36 – 0,49 dan yang mengalami ketidakmerataan rendah berkisar antara 0,20 – 0,35.

Untuk Indonesia secara keseluruhan memiliki koefiisen gini sebesar 0,30 – 0,40. Dengan demikian kemerataan distribusi pendapatan semakin lama semakin membaik.

Distribusi Fungsional

Ukuran distribusi pendapatan lain, yang sering digunakan oleh para ekonom adalah distribusi fungsional atau distribusi pangsa faktor produksi. Ukuran distribusi ini berusaha untuk menjelaskan pangsa pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing faktor produksi. Disamping memandang individu-individu sebagai kesatuan yang terpisah, teori ukuran distribusi pendapatan fungsional tersebut menyelidiki persentase yang diterima tenaga kerja secara keseluruhan dibandingkan dengan persentase dari pendapatan nasional yang terdiri dari : sewa, bunga, dan laba.

Gambar di bawah ini memberikan gambaran yang sederhana dari teori distribusi fungsional tradisional. Misal dalam perekonomian hanya ada 2 faktor produksi yaitu modal yang merupakan faktor produksi tetap dan tenaga kerja merupakan satu-satunya faktor produksi variabel.

Berdasarkan asumsi pasar persaingan, permintaan akan tenaga kerja ditentukan oleh Marginal Productnya (VMPL) sama dengan tingkat upah riil. Tetapi, sesuai dengan prinsip marginal produk yang manurun, permintaan akan tenaga kerja ini akan merupakan suatu fungsi yang menurun dari jumlah tenaga kerja yang diperkejakan.

Kurve permintaan akan tenaga kerja yang berslope negatif tersebut ditunjukkan oleh DL. Sedangkan kurve penawaran tenaga kerja adalah SL, dan tingkat upah keseimbangan akan sama dengan tingkat keseimbangan penggunaan tenaga kerja.

Read More......