Selamat datang dan jangan lupa FOLLOW ME

Friday, April 15, 2011

Perekonomian Penerimaan Negara

Sejak Repelita I penyempurnaan pengelolaan keuangan negara dengan tetap berpedoman pada asas anggaran pendapatan dan belanja negara yang berimbang dan dinamis terus diupayakan. Upaya ini ditingkatkan lagi dalam 5 tahun terakhir ini. Kebijaksanaan keuangan negara dilaksanakan seiring dan saling mendukung dengan kebijaksanaan moneter dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan lainnya untuk melaksanakan Trilogi Pembangunan sehingga pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi berjalan seiring dengan pemerataan pembangunan yang makin meluas dan stabilitas ekonomi yang dinamis dan mantap.


1. Penerimaan Dalam Negeri


Salah satu sasaran penting dari langkah-langkah kebijaksanaan di bidang keuangan negara sejak Repelita I adalah meningkatkan seluruh unsur penerimaan dalam negeri, terutama yang berasal dari sumber-sumber non migas dan lebih khususnya dari penerimaan pajak, sehingga kemandirian

d


alam pembiayaan pembangunan terutama untuk sektor negara makin mantap sedangkan ketergantungan pada sumber-sumber migas makin berkurang. Langkah mendasar yang telah dilakukan untuk meningkatkan penerimaan dari pajak adalah melalui pembaharuan sistem perpajakan yang dimulai sejak tahun 1984. Pelaksanaan selama lima tahun terakhir ini dipusatkan pada usaha-usaha untuk menyempurnakan mekanisme perpajakan agar sistem perpajakan menjadi semakin sederhana, efektif, mudah dipahami dan adil. Selain itu, penerimaan pajak terus ditingkatkan baik melalui intensifikasi pemungutannya maupun ekstensifikasi wajib pajaknya. Langkah ini merupakan kelanjutan dari pembaharuan sistem perpajakan yang telah dilaksanakan sejak tahun 1984. Sementara itu, penerimaan bukan pajak terus dimantapkan melalui peningkatan efisiensi BUMN dan intensifikasi penerimaan rutin dari departemen dan non departemen. Dari unsur penerimaan minyak bumi dan gas alam, berbagai upaya dilaksanakan untuk tetap dapat mengerahkannya secara maksimal.


Dengan berbagai langkah tersebut, penerimaan dalam negeri telah meningkat cukup pesat. Hal ini tercermin pada meningkatnya jumlah penerimaan dalam negeri yang pada tahun 1968 baru mencapai Rp 149,7 miliar, menjadi Rp 46,5 triliun dalam APBN tahun 1992/93, atau meningkat sebesar lebih dari 300 kali. Sementara itu dalam kurun waktu lima tahun terakhir, walaupun harga minyak tidak mengalami kenaikan lagi yakni berfluktuasi sekitar US$ 17 per barel, penerimaan dalam negeri masih meningkat lebih dari 2 kali lipat dari Rp 20,8 triliun pada tahun 1987/88 menjadi Rp 46,5 triliun dalam APBN 1992/93. Perkembangan penerimaan dalam negeri yang terdiri dari penerimaan migas dan penerimaan di luar migas dapat dilihat pada Tabel IV-2 dan Grafik IV-2.


2.1. Penerimaan Minyak Bumi dan Gas Alam


Sejak Repelita I berbagai upaya telah dilaksanakan untuk mendorong kegiatan sektor migas. Langkah tersebut, sejak tahun 1971 dilengkapi dengan upaya untuk memperoleh syarat-syarat yang lebih menguntungkan dalam pembagian hasil. Mulai Repelita III, dengan semakin besarnya produksi dari negara-negara bukan anggota OPEC, harga minyak bumi dan gas alam menunjukkan kecenderungan yang menurun. Menyadari hal tersebut, pada kuartal terakhir 1982/83 OPEC menerapkan kuota produksi yang rendah kepada anggota-anggotanya. Namun harga minyak cenderung menurun terus. Oleh karena itu selama 5 tahun terakhir upaya untuk

TABEL IV - 2

1)

PENERIMAAN DALAM NEGERI,

1968 - 1992/93 (miliar rupiah)




Akhir

Akhir

Akhir


Akhir


Repelita V



Jenis Penerimaan

1968

Repelita I

Rapelita II

Repelita III

1987/88

Repelita IV




2)




(1973/74)

(1978/79)

(1983/84)


(1988/89)

1989/90

1990/91

1991/92

1992/93

1.

Penerimaan minyak bumi

dan gas alam

33,3

382,2

2.308,7

9.520,2

10.047,2

9.527,0

11.252,1

17.711,9

15.039,1

13.947,5


Minyak bumi

(33,3)

(382,2)

(2.308,7)

(8.484,9)

(8.719,7)

(8.326,3)

(9.502,0)

(14.577,5)

(12.481,3)

(11.200,8)


Gas alam

(-)

(-)

(-)

(1.035,3)

(1.327,5)

(1.200,7)

(1.750,1)

(3.134,4)

(2.557,8)

(2.746,7)

2.

Penerimaan di luar












minyak bumi dan gas alam

116,4

585,5

1.957,4

4.912,5

10.756,1

13.477,3

17.487,7

21.834,5

26.545,7

32.560,9


Jumlah

149,7

967,7

4.266,1

14.432,7

20.803,3

23.004,3

28.739,8

39.546,4

41.584,8

46.508,4


1) Angka tahunan.

2) APBN.










IV/13

GRAFIK IV 2
PENERIMAAN DALAM NEGERI,
1968 - 1992/93

1968 1973/74 1978/79 1983/84 1988/89 1992/93

IV/14

Migas Nonmigas

m

IV/15

enggalang persatuan di negara-negara OPEC dalam rangka memelihara tingkat harga yang wajar terus dilanjutkan.


Penerimaan dari migas juga dipengaruhi oleh kapasitas produksi dan tingkat konsumsi BBM dalam negeri, Upaya untuk mengembangkan kapasitas sektor migas yang telah dilaksanakan sejak Repelita I telah berhasil meningkatkan produksi minyak bumi dari 219,9 juta barel dalam tahun 1968 menjadi 616,5 juta barel dalam tahun 1977/78. Sejak itu produksi minyak mulai menurun yang disebabkan oleh penurunan produksi secara alamiah dari lapangan-lapangan minyak tua. Sementara itu konsumsi dalam negeri meningkat terus. Pada tahun 1987/88 produksi minyak bumi menjadi 507,9 juta barel sehingga kapasitas ekspor juga turun. Untuk itu selama 5 tahun terakhir telah dilaksanakan berbagai langkah untuk menjamin kelangsungan produksi dan menghemat penggunaan BBM.


Salah satu upaya penting dalam menjamin kelangsungan produksi minyak bumi dan gas alam adalah dengan menciptakan iklim yang merangsang bagi investasi di bidang perminyakan, terutama dalam rangka mengembangkan eksplorasi minyak lahan baru di wilayah baru (frontier). Dalam bulan September 1988 ditetapkan persyaratan baru kontrak bagi hasil. Dalam ketentuan tersebut kontraktor diberikan beberapa insentif berupa perlakuan khusus di bidang perpajakan, penyempurnaan pola bagi hasil, penyesuaian harga prorata, dan kemudahan dalam pengadaan barang untuk keperluan eksplorasi. Khusus untuk wilayah kawasan Timur Indonesia, dalam bulan Pebruari 1989 telah dikeluarkan kebijaksanaan penyempurnaan insentif bagi kontrak bagi hasil. Dalam ketentuan ini perbandingan bagi hasil untuk kontrak baru atas daerah yang sudah diketahui (konvensional) adalah 80% pemerintah dan 20% kontraktor, sedangkan bagi kontrak baru atas lahan di wilayah baru adalah 75% pemerintah dan 25% kontraktor.


Langkah-langkah tersebut dilanjutkan dengan paket insentif yang berlaku surut sejak 1 Januari 1992. Paket ini terdiri dari 9 bagian dan berlaku untuk lahan baru di wilayah baru, lahan lama dan perpanjangan, serta lahan baru di daerah yang sudah diketahui. Paket insentif tersebut antara lain berupa bagi hasil gas yang sebelumnya 70% untuk pemerintah dan 30% untuk kontraktor, kini untuk lahan baru di wilayah baru perbandingan penerimaan hasilnya menjadi 60% untuk pemerintah dan 40% untuk kontraktor, sedangkan untuk lahan baru di daerah yang sudah

d

IV/16

iketahui adalah 65% untuk pemerintah dan 35% untuk kontraktor. Kemudian untuk bagi hasil minyak bumi di wilayah baru, apabila pada waktu yang lalu dibagi menurut produksi minyak per hari, kini disama ratakan, yaitu 80% untuk pemerintah dan 20% untuk kontraktor. Bagi hasil minyak untuk pengembangan lapangan di kedalaman laut lebih dari 1.500 meter yang sebelumnya juga dibagi menurut produksi perhari, kini untuk lahan lama dan perpanjangan, serta lahan baru di wilayah baru disamakan, yaitu 75% untuk pemerintah dan 25% untuk kontraktor.


Dengan diberikannya insentif tersebut Indonesia diharapkan tetap menarik sebagai tempat penanaman modal bidang migas di kawasan Asia Pasifik, mengingat beberapa negara tetangga juga telah menyediakan perangsang cukup besar bagi investor asing di bidang eksplorasi minyak dan gas bumi. Dengan demikian sumber-sumber dari migas tetap dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya sebagai salah satu sumber penerimaan dalam negeri yang penting.


Berbagai insentif yang telah diberikan seperti tersebut di atas telah berhasil meningkatkan volume produksi dan ekspor migas. Selama periode 1987/88-1991/92 produksi minyak bumi (termasuk kondensat) meningkat 3,1% per tahun. Walaupun demikian penerimaan negara dari migas selama 5 tahun terakhir mengalami pasang surut sesuai dengan perkembangan harga migas di pasaran internasional. Perkembangan yang menonjol adalah sehubungan dengan timbulnya krisis Teluk dalam bulan Agustus 1990 yang telah meningkatkan harga minyak dunia. Sebagai akibatnya harga ekspor minyak Indonesia juga meningkat dalam bulan Oktober 1990 mencapai harga US$ 35,29 per barel. Lonjakan harga minyak tersebut meningkatkan penerimaan migas pada tahun anggaran 1990/91 menjadi sebesar Rp 17,7 triliun atau naik 57,4% dari tahun sebelumnya. Selanjutnya dalam tahun 1991/92, dengan berakhirnya Krisis Teluk, harga minyak merosot lagi dan berfluktuasi pada tingkat yang lebih rendah. Secara keseluruhan dalam tahun 1991/92 rata-rata harga minyak Indonesia mencapai US$ 18,55 per barel dengan penerimaan migas berjumlah Rp 15,0 triliun atau turun 15,1 % dari tahun sebelumnya. Dengan asumsi tingkat rata-rata harga minyak sekitar US$ 18 per barel, penerimaan migas dalam APBN 1992/93 diperkirakan dapat mencapai Rp 13,9 triliun.


2.2. Penerimaan di Luar Minyak Bumi dan Gas Alam


Sejak Repelita I, langkah-langkah untuk meningkatkan penerimaan di

l

IV/17

uar migas terus diupayakan. Upaya tersebut menjadi semakin penting dengan menurunnya harga minyak di pasaran internasional mulai tahun 1982. Dengan perkembangan itu, keuangan negara makin mengandalkan pada penerimaan dalam negeri di luar migas, terutama penerimaan pajak. Dalam kurun waktu 1968-1983/84 penerimaan di luar migas mengalami peningkatan rata-rata sebesar 26,7% per tahun, yaitu dari Rp. 77,9 miliar menjadi Rp 4,9 triliun. Walaupun demikian peranannya dalam penerimaan dalam negeri semakin menurun dari 73,0% menjadi 34,0%, karena dalam periode tersebut terjadi peningkatan penerimaan migas yang cukup tinggi. Sejak tahun 1984/85, yaitu tahun pertama diberlakukannya undang-undang perpajakan yang baru, peranan penerimaan sektor non migas menjadi semakin besar. Pada tahun 1984/85 penerimaan non migas adalah sebesar Rp 5,5 triliun atau 34,4% dari penerimaan dalam negeri dan meningkat menjadi Rp. 10,8 triliun pada tahun 1987/88 atau 51,7% dari penerimaan dalam negeri. Selama 5 tahun terakhir, penerimaan di luar migas telah meningkat dengan pesat, yaitu rata-rata sebesar 24,7% per tahun, dari Rp 10,8 triliun pada tahun 1987/88, menjadi Rp 32,6 triliun dalam APBN tahun 1992/93. Peningkatan ini terutama berasal dari penerimaan pajak, yang meningkat dari Rp 8,8 triliun menjadi Rp 28,9 triliun atau rata-rata meningkat dengan 26,8% per tahun. Seiring dengan itu peranan penerimaan di luar migas dalam penerimaan dalam negeri telah meningkat dari 48,3% dalam tahun 1987/88 menjadi 70,0% dalam APBN 1992/93. Seperti telah disebutkan di atas hasil-hasil tersebut terutama merupakan hasil dari upaya-upaya penyempurnaan peraturan perundang-undangan, peningkatan pelayanan pajak, intensifikasi pemungutan pajak, pengawasan administratif khususnya atas wajib pajak potensial, serta meningkatnya kesadaran wajib pajak. Dalam rangka meningkatkan pemahaman terhadap pajak, secara intensif telah dilakukan berbagai upaya penyuluhan pajak, baik yang dilakukan oleh aparat perpajakan sendiri maupun yang dilakukan dengan bekerja sama dengan unsur media massa. Di samping itu perbaikan pelayanan bagi wajib pajak terus dilakukan melalui penyempurnaan dan peningkatan administrasi perpajakan dan kemampuan aparatur pajak.


Salah satu unsur penerimaan pajak yang perkembangannya paling pesat sejak diterapkan sistem perpajakan yang baru adalah penerimaan Pajak Penghasilan (PPh), yang mulai berlaku pada tahun 1984 berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983. Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 ini, PPh ditampung dalam pemungutan Pajak Pendapatan (PPd), Pajak Perseroan (PPs), MPO dan Pajak atas Bunga

D

IV/18

ividen dan Royalty (PBDR). Dalam tahun 1968 realisasi penerimaan ekuivalen PPh baru mencapai Rp 25,3 miliar yang meningkat menjadi Rp 2.212,0 miliar dalam tahun 1984/85. Memasuki tahun keempat sejak berlakunya undang-undang perpajakan yang baru (tahun 1987/88) penerimaan PPh mencapai Rp 2,7 triliun, atau meningkat sebesar rata-rata 5% per tahun. Dalam APBN tahun 1992/93 jumlah penerimaannya diperkirakan menjadi Rp 10,9 triliun, atau meningkat sebesar rata-rata 32,1% per tahun sejak tahun 1987/88. Hasil-hasil tersebut terutama merupakan hasil dari berbagai langkah penting di bidang ini, termasuk upaya perluasan wajib pajak dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan dan pelaksanaan PPh. Beberapa dari langkah-langkah penting di bidang pelaksanaan PPh ini adalah sebagai berikut.


Dalam rangka perluasan wajib pajak PPh, melalui PP Nomor 13 Tahun 1988 dikenakan pajak penghasilan sebesar 15% dan bersifat final, dengan kemungkinan restitusi Atas Bunga Deposito Berjangka, Sertifikat Deposito, dan Tabungan. Upaya meningkatkan penerimaan pajak dilakukan dengan tetap mempertimbangkan aspek pemerataan dan keadilan. Untuk itu Tabanas/Taska, simpanan pedesaan, tabungan uang muka kredit pemilikan rumah, tabungan naik haji, dan tabungan kecil lainnya, dibebaskan dari ketentuan ini. Sesuai dengan PP Nomor 74 Tahun 1991, wajib pajak badan (perusahaan) atas penerimaan bunga tersebut di atas yang sebelumnya dikenakan tarif 15% dan bersifat final, sejak 1 Januari 1992 dikenakan tarif berjenjang dan tidak bersifat final. Bagi bunga deposito dan tabungan di bawah Rp 5 juta wajib pajak perorangan dikenakan pajak 15% final. Adapun pengenaan pajak penghasilan terhadap penerimaan yang diperoleh penabung kecil (saldo bulanan tertinggi kurang dari Rp 1 juta), dana pensiun, gerakan pramuka, PMI dan pemilikan rumah sederhana tetap ditangguhkan.


Selanjutnya melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991, dilaksanakan penyempurnaan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983, yang antara lain mengatur PPh terhadap deviden yang diterima badan usaha dalam negeri dari penyertaan modal pada badan usaha lainnya yang didirikan di Indonesia serta terhadap perusahaan reksa dana dan modal ventura. Dalam rangka mendorong kegiatan ekonomi di daerah terpencil, UU tersebut juga memberikan insentif pajak penghasilan berupa pengurangan dari kewajiban pajaknya bagi pemberi kerja yang memberikan imbalan berbentuk natura kepada karyawannya serta kemudahan dalam menggunakan metode

p

IV/19

enyusutan dan amortisasi. Di samping itu dengan kecenderungan yang meningkat dari badan usaha swasta yang melakukan pemindahtanganan harta atau akuisisi, ditegaskan kembali berlakunya PPh atas pemindahan harta dalam bentuk penjualan, pengalihan/tukar menukar, hibah, warisan, dan penyertaan dalam bentuk harta (in-kind participation). Penegasan ini dimaksudkan untuk mengamankan penerimaan negara, serta agar terdapat kepastian hukum mengenai berlakunya peraturan perpajakan atas pemindah­tanganan harta.


Sementara itu sejalan dengan perkembangan tingkat inflasi selama masa kepemilikan harta, secara periodik dilakukan penyesuaian terhadap harga atau nilai perolehan dari harta berupa tanah dan/atau bangunan. Hal ini diatur melalui PP Nomor 42 Tahun 1985, dan yang terakhir melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1075 Tahun 1992 yang berlaku untuk tahun pajak 1992.


Kebijaksanaan lain untuk mempertahankan aspek keadilan dan pemerataan ditempuh melalui penyesuaian Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP). Kalau sebelum berlakunya undang-undang baru besarnya PTKP untuk keluarga yang terdiri atas suami, istri, serta tiga orang anak adalah sebesar Rp 1.050.000,- maka sejak tanggal 1 April 1984 PTKP tersebut telah meningkat menjadi Rp 2.880.000,- dan pada tahun 1990 dinaikkan lagi menjadi sebesar Rp 4.320.000,-.


Sementara itu perkembangan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga menunjukkan peningkatan yang cukup pesat. Pajak pertambahan nilai merupakan penyempurnaan dari pajak penjualan (PPn) dan mulai diberlakukan pada tahun anggaran 1985/86. Makin efektifnya PPN dibandingkan dengan PPn dapat dilihat dari perkembangannya selama periode 1968-1992/93. Dalam tahun 1968, jumlah penerimaan ekuivalen PPN adalah sebesar Rp 15,2 miliar dan meningkat menjadi Rp 878,0 miliar pada tahun 1984/85. Sedang dalam APBN tahun 1992/93 jumlahnya diperkirakan dapat mencapai Rp 11.032,2 miliar yang merupakan peningkatan sebesar lebih dari 12 kali lipat dibandingkan dengan realisasinya dalam tahun 1984/85.


Sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, hingga saat ini masih berlaku tarif tunggal sebesar 10% untuk PPN

b

IV/20

arang dan jasa. Sedangkan tarif pajak penjualan atas barang mewah yang semula adalah 10% dan 20%, melalui PP Nomor 29 Tahun 1988 telah disesuaikan menjadi 10%, 20%, dan 30% tergantung pada tingkat kemewahannya dan selanjutnya terakhir disempurnakan dengan PP Nomor 76 Tahun 1992 menjadi 10%, 20% dan 35%.


Peningkatan penerimaan PPN juga diupayakan melalui ekstensifikasi obyek pajak. Melalui PP Nomor 75 Tahun 1991 yang diberlakukan sejak 1 April 1992, pedagang eceran besar (PEB) dengan omset paling sedikit Rp 1 miliar dalam setahun dikenakan PPN. Dengan kebijaksanaan tersebut berarti ruang lingkup pengenaan PPN telah meliputi seluruh mata rantai produksi mulai dari tingkat pabrikan, grosir, sampai pedagang eceran. Pengenaan PPN terhadap pedagang eceran memerlukan langkah-langkah penyempurnaan dalam pelaksanaannya, dan hal ini terus diupayakan.


Sementara itu, sejalan dengan perkembangan perekonomian, batasan dan ukuran pengusaha kecil telah disesuaikan. Dalam SK Menteri Keuangan Nomor 1288 Tahun 1991 ditetapkan batasan pengusaha kecil yang bebas dari kewajiban menyerahkan pajak pertambahan nilai dinaikkan dua kali lipat, yaitu menjadi Rp 120 juta untuk peredaran bruto Barang Kena Pajak dan Rp 60 juta untuk penyerahan Jasa Kena Pajak.


Selain langkah-langkah tersebut di atas, untuk makin memantapkan pelaksanaan PPN, juga dilakukan kerja sama dengan Bulog dalam rangka mengamankan penerimaan PPN yang hams dibayar oleh penyalur dan grosir gula pasir dan terigu. Sedangkan untuk menghindari penyelundupan pajak dilakukan verifikasi silang antara data PPN dan SPT PPh dan verifikasi lapangan atas Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dengan langkah-langkah penyempurnaan tersebut PPN masih tetap diharapkan sebagai salah satu sumber penerimaan pajak andalan di waktu-waktu mendatang.


Jenis pajak lainnya yang menunjukkan kecenderungan terus meningkat adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). PBB merupakan jenis pajak lain lagi yang mulai diberlakukan dalam tahun 1986 dalam rangka pembaharuan sistem perpajakan. PBB diterapkan berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985, yang sebelumnya meliputi Ipeda dan Pajak Kekayaan. Pemungutan PBB diserahkan pada Pemda setempat sedang lebih dari 60% atas hasil penerimaannya dapat langsung dipergunakan oleh Dati II yang bersangkutan. Makin efektifnya jenis penerimaan ini dalam bentuk

P

IV/21

BB dibandingkan dengan bentuk sebelumnya dapat dilihat dari perkembangannya selama periode 1968-1992/93. Dalam tahun 1968 jumlah ekuivalen PBB baru mencapai Rp 0,1 miliar yang meningkat menjadi Rp 275,1 miliar pada tahun 1987/88 untuk kemudian melonjak menjadi Rp 990,6 miliar dalam APBN tahun 1992/93.


Kebijaksanaan di bidang PBB selain ditujukan untuk meningkatkan penerimaan negara juga ditujukan untuk meningkatkan produktivitas tanah dan bangunan. Upaya ini dilakukan melalui penyesuaian klasifikasi Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). Kebijaksanaan pengenaan PBB yang sebelumnya mengacu kepada SK Menteri Keuangan Nomor 1324 Tahun 1988, sejak tanggal 22 Nopember 1991 diperbarui dengan SK Menteri Keuangan Nomor 1147 Tahun 1991. Berdasarkan peraturan yang baru tersebut, NJOP untuk tanah perkebunan, perhutanan, pertambangan, dan tanah peternakan disem­purnakan, sedangkan NJOP tanah pedesaan tidak mengalami perubahan. Sementara itu tarif PBB masih tetap tunggal yaitu 0,5% dari nilai jual kena pajak (NJKP), yang berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 1985 ditetapkan sebesar 20% dari NJOP. Dalam rangka mengurangi beban pajak PBB masyarakat berpendapatan rendah, melalui SK Menteri Keuangan Nomor 1291 Tahun 1991 batas nilai jual bangunan tidak kena pajak yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1992 dinaikkan dari Rp 3,5 juta menjadi Rp 7,0 juta untuk setiap satuan bangunan.


Selanjutnya, untuk memantapkan pelaksanaan PBB, sistem tempat pembayaran (Sistep) terus dikembangkan. Hal ini dimaksudkan untuk makin memperlancar pembayaran PBB oleh masyarakat melalui tempat-tempat pembayaran tertentu dengan dukungan komputerisasi data piutang. Sampai dengan tahun 1992 Sistep telah dikembangkan di 181 Dati II, dan dalam tahun 1993 akan dikembangkan lagi di 119 Dati II, sehingga dalam tahun anggaran 1993/94 diharapkan Sistep sudah dilaksanakan secara nasional.


Penerimaan di luar migas lain yang cukup penting adalah bea masuk. Melalui berbagai langkah deregulasi, terutama sejak tahun 1986, kebijaksanaan bea masuk makin diarahkan sebagai pengatur arus dan pola impor barang agar mampu mendorong peningkatan efisiensi industri dalam negeri, peningkatan ekspor non migas dan penciptaan lapangan kerja yang makin luas. Meskipun demikian peranannya sebagai sumber penerimaan negara tetap penting. Penerimaan bea masuk yang dalam tahun 1968 baru mencapai Rp 37,3 miliar, dalam tahun 1986/87 telah meningkat menjadi

R

IV/22

p 960,1 miliar. Penerimaan bea masuk meningkat dari Rp 1,0 triliun pada tahun 1987/88 menjadi Rp 3,0 triliun dalam APBN 1992/93. Peningkatan penerimaan ini antara lain di sebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang cepat, terutama selama 3 tahun terakhir, dan sebagai hasil dari meningkatnya efisiensi pelaksanaan pemungutan bea masuk.


Penerimaan non migas yang cukup penting lainnya adalah dari cukai. Perkembangan penerimaan cukai selama periode 1968-1992/93 disesuaikan dengan peranannya tidak hanya sebagai sumber penerimaan negara tetapi juga sebagai pengatur kegiatan konsumsi dan produksi masyarakat yang menyangkut tembakau, gula, bir dan alkohol sulingan. Kalau dalam tahun 1968 jumlah penerimaan cukai baru sebesar Rp 16,6 miliar, maka pada tahun 1983/84 realisasinya telah mencapai Rp 773,2 miliar, atau meningkat sebesar rata-rata 29,2% per tahun. Selama 5 tahun terakhir penerimaan cukai meningkat dengan rata-rata sebesar 16,9% per tahun dari Rp 1,1 triliun dalam tahun 1987/88 menjadi Rp 2,4 triliun dalam APBN tahun 1992/93. Berbagai perkembangan panting pelaksanaan cukai adalah sebagai berikut. Dengan SK Menteri Keuangan Nomor 336 Tahun 1991 telah diatur kembali struktur tarif cukai tembakau yang semula berdasarkan pada strata jenis produksi total selama satu tahun takwim. Untuk jenis sigaret kretek yang diproduksi tanpa mesin, sampai dengan produksi tidak lebih dari 50 juta batang setahun dikenakan tarif cukai sebesar 0,5%; dan pabrikan yang memproduksi di atas 30 miliar batang setahun dikenakan tarif 17,5%. Untuk sigaret kretek mesin dengan tingkat produksi di atas 30 miliar batang setahun dikenakan tarif 37,5%. Selanjutnya untuk menjaga keseimbangan perkembangan produksi sigaret putih mesin dengan sigaret kretek mesin, melalui SK Menteri Keuangan Nomor 1181 Tahun 1991, sigaret putih mesin berdasarkan harga eceran per batang sampai dengan Rp 45,-, antara Rp 45,-dan Rp 65,- serta di atas Rp 65,- masing-masing dikenakan tarif cukai sebesar 22,5%, 35% dan 37,5%.


Salah satu obyek cukai yang panting adalah gula. Penetapan cukai gula diarahkan untuk mewujudkan tingkat harga gula yang terjangkau masyarakat dan sekaligus mampu menjamin pendapatan petani dan industri gula. Penyesuaian harga dasar terakhir dilakukan melalui SK Menkeu Nomor 43 Tahun 1991. Tarif cukai untuk semua jenis gula ditetapkan sama sebesar 4% dari harga dasarnya. Penyesuaian harga dasar juga diterapkan untuk alkohol sulingan, yang terakhir dilakukan melalui SK Menteri Keuangan Nomor 560 Tahun 1991. Harga dasar alkohol sulingan dinaikkan

d

IV/23

ari Rp 600,- menjadi Rp 800,- per liter dengan tarif cukai 70% dari harga dasarnya. Sedangkan, harga dasar cukai bir tetap ditentukan sebesar Rp 750,- dengan tarif 50% dari harga dasarnya.


Penerimaan pajak ekspor yang terus meningkat dari Rp 13,9 miliar dalam tahun 1968 menjadi Rp 104,0 miliar dalam tahun 1983/84 kemudian menurun sampai mencapai Rp 78,8 miliar pada tahun 1986/87. Kecuali peningkatan kembali menjadi sebesar Rp 183,5 miliar pada tahun 1987/88 perkembangan selanjutnya adalah terus menurun sehingga mencapai Rp 18,8 miliar dalam tahun 1991/92. Hal ini sejalan dengan pola perkembangan ekspor non migas yang makin mengandalkan pada hasil industri pengolahan yang tidak dikenakan pajak ekspor. Sejak tahun 1986 berbagai komoditi ekspor yang diolah menjadi barang jadi atau barang industri, sehingga tidak dikenakan pajak ekspor, telah meningkat dengan sangat pesat. Sejalan dengan perkiraan kenaikan komoditi ekspor yang kena pajak, dalam APBN 1992/93, penerimaan pajak ekspor diperkirakan mencapai Rp 60,0 miliar.


Penerimaan pajak lainnya mencakup penerimaan dari bea meterai dan bea lelang. Penerimaan pajak ini meningkat dari Rp 222,9 miliar pada tahun 1987/88 menjadi Rp 354,5 miliar dalam APBN tahun 1992/93 yang pada tahun 1968 baru sebesar Rp 3,4 miliar. Upaya-upaya pengembangannya mencakup antara lain peningkatan pengawasan atas pelaksanaan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai, pencegahan dan pemberantasan beredarnya meterai tempel palsu, serta penertiban dan penyempurnaan pelaksanaan lelang.


Penerimaan bukan pajak terdiri dari penerimaan-penerimaan departemen dan lembaga pemerintah non departemen, serta penerimaan bagian pemerintah atas laba BUMN termasuk bank-bank pemerintah. Sejalan dengan kebijaksanaan di bidang perpajakan, penerimaan bukan pajak juga selalu diupayakan peningkatannya. Peningkatan penerimaan bukan pajak dari departemen dan lembaga pemerintah non departemen dilakukan melalui penyempurnaan administrasi dan tats cara penyetoran, serta peningkatan pengawasan di dalam pelaksanaannya. Sedangkan upaya peningkatan penerimaan bukan pajak yang berasal dari bagian pemerintah atas laba BUMN dilakukan melalui peningkatan efisiensi operasional dan pe­nyempurnaan manajemen BUMN. Dengan upaya-upaya tersebut realisasi penerimaan bukan pajak meningkat dari Rp 4,7 miliar pada tahun 1968 menjadi Rp 2,0 triliun pada tahun 1987/88 dan diperkirakan akan mencapai

TABEL IV – 3

1)

PENERIMAAN DI LUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM,

1968 – 1992/93

(miliar rupiah)

  1. Angka tahunan

  2. APBN

  3. Sebelum Repelita IV terdiri dari Pajak Pendapatan, Pajak Perseroan, Menghitung Pajak Orang (MPO),
    dan Pajak atas Dividen, Bunga dan Royalti (PDBR)

  4. Sebelum tahun 1985/86 terdiri dari Pajak Penjualan dan Pajak Penjualan Impor

  5. Sebelum 1 Januari 1986 termasuk Pajak Kekayaan

  6. Sebelum 1 Januari 1986 hanya merupakan penerimaan Ipeda. Sejak pelaksanaan UU tentang PBB.
    (1 Januari 1986), jumlah penerimaan ini menggantikan Ipeda dan Pajak Kekayaan

  7. Termasuk laba bersih minyak sebesar Rp. 801 miliar


IV/24

GRAFIK IV – 3

PENERIMAAN DILUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM,

1968 – 1992/93
















IV/25

R

IV/26

p 3,7 triliun dalam APBN tahun 1992/93. Secara keseluruhan perkem­bangan penerimaan di luar migas dapat dilihat pada Tabel IV-3 dan Grafik IV-3.



untuk lebih jelasnya silahkan download File d bawah ini: http://www.4shared.com/document/FjvgrTbm/Penerimaan_negara.html

No comments:

Post a Comment