Latar Belakang terjadinya koperasi ;
1. . Sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di negara maju (barat) dan negara berkembang memang sangat diametral. Di barat koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, oleh karena itu tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar. Bahkan dengan kekuatannya itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan internasional. Peraturan perundangan yang mengatur koperasi tumbuh kemudian sebagai tuntutan masyarakat koperasi dalam rangka melindungi dirinya. Di negara berkembang koperasi dirasa perlu dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kesadaran antara kesamaan dan kemuliaan tujuan negara dan gerakan koperasi dalam memperjuangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat ditonjolkan di negara berkembang, baik oleh pemerintah kolonial maupun pemerintahan bangsa sendiri setelah kemerdekaan. Berbagai peraturan perundangan yang mengatur koperasi dilahirkan dengan maksud mempercepat pengenalan koperasi dan memberikan arah bagi pengembangan koperasi serta dukungan/perlindungan yang diperlukan.
2. Pada saat ini dengan globalisasi dan runtuhnya perekonomian sosialis di Eropa Timur serta terbukanya Afrika, maka gerakan koperasi di dunia telah mencapai suatu status yang menyatu di seluruh dunia. Dimasa lalu jangkauan pertukaran pengalaman gerakan koperasi dibatasi oleh blok politik/ekonomi, sehingga orang berbicara koperasi sering dengan pengertian berbeda. Meskipun hingga tahun 1960-an konsep gerakan koperasi belum mendapat kesepakatan secara internasional, namun dengan lahirnya Revolusi ILO-127 tahun 1966 maka dasar pengembangan koperasi mulai digunakan dengan tekanan
3. pada saat itu adalah memanfaatkan model koperasi sebagai wahana promosi kesejahteraan masyarakat, terutama kaum pekerja yang ketika itu kental dengan sebutan kaum buruh. Sehingga syarat yang ditekankan bagi keanggotaan koperasi adalah “Kemampuan untuk memanfaatkan jasa koperasi”. Dalam hal ini resolusi tersebut telah mendorong tumbuhnya program-program pengembangan koperasi yang lebih sistematis dan digalang secara internasional.
4. Pada akhir 1980-an koperasi dunia mulai gelisah dengan proses globalisasi dan liberalisasi ekonomi dimana-mana, sehingga berbagai langkah pengkajian ulang kekuatan koperasi dilakukan. Hingga tahun 1992 Kongres ICA di Tokyo melalui pidato Presiden ICA (Lars Marcus) masih melihat perlunya koperasi melihat pengalaman swasta, bahkan laporan Sven Akheberg menganjurkan agar koperasi mengikuti layaknya “private enterprise”. Namun dalam perdebatan Tokyo melahirkan kesepakatan untuk mendalami kembali semangat koperasi dan mencari kekuatan gerakan koperasi serta kembali kepada sebab di dirikannya koperasi. Sepuluh tahun kemudian Presiden ICA saat ini Roberto Barberini menyatakan koperasi harus hidup dalam suasana untuk mendapatkan perlakuan yang sama “equal treatment” sehingga apa yang dapat dikerjakan oleh perusahaan lain juga harus terbuka bagi koperasi (ICA, 2002). Koperasi kuat karena menganut “established for last”.
5. Pada tahun 1995 gerakan koperasi menyelenggarakan Kongres koperasi di Manchester Inggris dan melahirkan suatu landasan baru yang dinamakan International Cooperative Identity Statement (ICIS) yang menjadi dasar tentang pengertian prinsip dan nilai dasar koperasi untuk menjawab tantangan globalisasi. Patut dicatat satu hal bahwa kerisauan tentang globalisasi dan liberalisasi perdagangan di berbagai negara terjawab oleh gerakan koperasi dengan kembali pada jati diri, namun pengertian koperasi sebagai “enterprise” dicantumkan secara eksplisit. Dengan demikian mengakhiri perdebatan apakah koperasi lembaga bisnis atau lembaga “quasi-sosial”. Dan sejak itu semangat untuk mengembangkan koperasi terus menggelora di berbagai sistim ekonomi yang semula tertutup kini terbuka.
6. Catatan awal : “Dari sini dapat ditarik catatan bahwa koperasi berkembang dengan keterbukaan, sehingga liberalisasi perdagangan bukan musuh koperasi”.
7. Di kawasan Asia Pasifik hal serupa ini juga terjadi sehingga pada tahun 1990 diadakan Konferensi Pertama Para Menteri-Menteri yang bertanggung jawab dibidang koperasi di Sydney, Australia. Pertemuan ini adalah kejadian kali pertama untuk menjembatani aspirasi gerakan koperasi yang dimotori oleh ICA-Regional Office of The Asian dan Pacific dengan pemerintah. Pertemuan ini telah melicinkan jalan bagi komunikasi dua arah dan menjadi pertemuan regional yang reguler setelah Konferensi ke II di Jakarta pada tahun 1992. Pesan Jakarta yang terpenting adalah hubungan pemerintah dan gerakan koperasi terjadi karena kesamaan tujuan antara negara dan gerakan koperasi, namun harus diingat program bersama tidak harus mematikan inisiatif dan kemurnian koperasi. Pesan kedua adalah kerjasama antara koperasi dan swasta (secara khusus disebut penjualan saham kepada koperasi) boleh dilakukan sepanjang tidak menimbulkan erosi pada prinsip dan nilai dasar koperasi.
Koperasi Dalam Era Otonomi Daerah
8. Implementasi undang-undang otonomi daerah, akan mem¬berikan dampak positif bagi koperasi dalam hal alokasi sum¬ber daya alam dan pelayanan pembinaan lainnya. Namun kope¬rasi akan semakin menghadapi masalah yang lebih intensif de¬ngan pemerintah daerah dalam bentuk penempatan lokasi inves¬tasi dan skala kegiatan koperasi. Karena azas efisiensi akan mendesak koperasi untuk membangun jaringan yang luas dan mungkin melampaui batas daerah otonom. Peranan advo¬kasi oleh gerakan koperasi untuk memberikan orientasi kepa¬da pemerintah di daerah semakin penting. Dengan demikian peranan pemerintah di tingkat propinsi yang diserahi tugas untuk pengembangan koperasi harus mampu menjalankan fung¬si intermediasi semacam ini. Mungkin juga dalam hal lain yang berkaitan dengan pemanfaatan infrastruktur daerah yang semula menjadi kewenangan pusat.
9. Peranan pengembangan sistem lembaga keuangan koperasi di tingkat Kabupaten / Kota sebagai daerah otonom menjadi sangat penting. Lembaga keuangan koperasi yang kokoh di daerah otonom akan dapat menjangkau lapisan bawah dari ekonomi rakyat. Disamping itu juga akan mampu berperan menahan arus keluar sumber keuangan daerah. Berbagai studi menunjukan bahwa lembaga keuangan yang berbasis daerah akan lebih mampu menahan arus kapital keluar, sementara sistem perbankan yang sentralistik mendorong pengawasan modal dari secara tidak sehat.
10. Dukungan yang diperlukan bagi koperasi untuk mengha¬dapi berbagai rasionalisasi adalah keberadaan lembaga jaminan kre¬dit bagi koperasi dan usaha kecil di daerah. Dengan demi¬kian kehadiran lembaga jaminan akan menjadi elemen terpenting untuk percepatan perkembangan koperasi di dae¬rah. Lembaga jaminan kredit yang dapat dikembangkan Pemerintah Daerah dalam bentuk patungan dengan stockholder yang luas. Hal ini akan dapat mendesentralisasi pengem¬bangan ekonomi rakyat dan dalam jangka panjang akan me¬num¬buhkan kemandirian daerah untuk mengarahkan aliran uang di masing-masing daerah. Dalam jangka menengah kope¬rasi juga perlu memikirkan asuransi bagi para penabung.
11. Potensi koperasi pada saat ini sudah mampu untuk memulai gerakan koperasi yang otonom, namun fokus bisnis koperasi harus diarahkan pada ciri universalitas kebutuhan yang tinggi seperti jasa keuangan, pelayanan infrastruktur serta pembelian bersama. Dengan otonomi selain peluang untuk memanfaatkan potensi setempat juga terdapat potensi benturan yang harus diselesaikan di tingkat daerah. Dalam hal ini konsolidasi potensi keuangan, pengem¬bangan jaringan informasi serta pengembangan pusat inovasi dan teknologi merupakan kebutuhan pendukung untuk kuat¬nya kehadiran koperasi. Pemerintah di daerah dapat mendo¬rong pengem¬bang¬an lembaga penjamin kredit di daerah.
Wednesday, December 9, 2009
PERKEMBANGAN KOPERASI DI INDONESIA
Monday, October 12, 2009
Prinsip Koperasi
1. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka.
2. Pengelolaan secara demokrasi.
3. Pembagian SHU dilakukan secara adil sesuai dengan jasa masing - masing anggota.
4. Pemberian Balas jasa terhadap Modal.
5. Kemandirian.
6. Pendidikan koperasian
7. Kerja sama antar koperasi
pengertian
1. Keangotaan bersifat sukarela dan terbuka maksudnya setiap orang yg ingin menjadi anggotanya bebas tak ada paksaan apapun dan semuanya yang berada dalam koperasi tersebut saling menganggap saudara dan kekeluargaan dan terbuka maksudnya tidak membedakan RAS,WARNA KULIT, Dll.
2. Pengelolaan dilakukan secara demokrasi maksutnya setiap anggota bebas mengeluarkan ide-ide,saran,kritik untuk membangun koperasi tersebut.
3. Pembagian SHU dilakukan secara adil sesuai jasa usaha masing - masing angota, maksudnya setiap hasil keuntungan / sisa hasil usaha di bagi rata atau sesuai dengan apa yang di lakukannya dan jabatannya dalam koperasi tersebut.
4. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal maksudnya setiap koperasi modalnya selalu mengandalkan atas semua anggotanya jadi belum tentu bisa balik modal kembali.
5. Kemandirian Maksudnya setiap usaha koperasi wajib melakukan semuanya serba mandiri dari modal, perangotaan,Dll
6. Pendidikan Koperasian maksudnya semua anggota dari koperasi tersebut harus tau apa maksudnya dari mendirikan koperasi tersebut.
7. Kerja sama antar koperasi maksudnya setiap anggota di haruskan bekerja sama dengan orang lain atau anggota dari dalam atau luar koperasi tersebut agar bisa tukar pikiran dan menjadikan tercapainya tujuan koperasi tersebut.
Monday, October 5, 2009
Deregulasi Bank dan Lembaga Keuangan
DEREGULASI
Di era otonomi daerah ini, deregulasi tampaknya semakin diperlukan, tidak saja deregulasi bersifat makro dan skala mikro ekonomi terutama yang menggerakan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi, tetapi juga deregulasi cakupan lokal (provinsi, kabupaten dan kota).
Hal tersebut dikemukakan pakar ekonomi dari Universitas Haluoleo (Unhalu) Kendari, Prof Dr Yusuf Abadi, SE, MS pada acara diskusi serangkaian rapat kerja daerah Kamar Dagang dan Industri daerah (Kadinda) Sulawesi Tenggara (Sultra) di Kendari, Sabtu (23/04).
Pembantu Rektor IV Unhalu Kendari ini mengatakan, deregulasi
cakupan lokal ini perlu dirumuskan secara cermat oleh pemerintah daerah sesuai dengan kondisi wilayah tersebut.
"Deregulasi yang diperlukan di daerah tersebut, pertama adalah investasi, tidak cukup hanya dengan pencanangan tahun investasi," ujarnya.
Menurut dia, UU No. 32 tahun 2004 (hasil revisi UU No. 22 tahun 1999) dan UU No.17 tahun 2003 tentang keuangan belum mampu mendorong investasi di daerah, bahkan cenderung membatasi mengalirnya dana masuk ke daerah karena masih harus disaring melalui pemerintah pusat.
"Kalau hal ini kita debatkan tidak akan ada habis-habisnya karena pemerintah pusat selalu berargumen dengan kacamata pusat, untuk kepentingan Jakarta (pusat-red), sementatra orang daerah juga mempunyai kacamata daerah tanpa mengabaikan kepentingan NKRI (bukan Jakarta)," ujarnya.
Selain itu, di daerah juga perlu deregulasi di bidang perkreditan. Masalah klasik yang sampai saat ini belum dapat terpecahkan adalah penyaluran kredit perbankan, yang di satu sisi perbankan sulit menyalurkan kredit (banyak dana menganggur di bank), sementara di sisi lain, banyak pengusaha terutama UMKM membutuhkan banyak pinjaman.
"Titik temu antara permintaan dan penawaran yang ada sekarang bukan pasar yang optimal," ujarnya.
Bank, katanya, menerapkan sistem kehati-hatian, tetapi prinsip ini tidak sepenuhnya benar dilihat dari sisi teori "financial management", karena substansi pemberian kredit diabaikan, yaitu kelayakan yang diukur dari tingkat "profitable" dan kepercayaan.
"Tetapi yang ditonjolkan oleh bank adalah syarat administrasi pemberian kredit seperti agunan, pembukuan dan lain-lain," ujarnya.
Kenyataan menunjukkan banyak UMKM yang bermohon untuk mendapatkan kredit cukup layak untuk dibantu karena menguntungkan dan mempunyai prospek namun karena syarat administrasi tidak terpenuhi, sehingga tidak "bankable".
Bila kondisi seperti ini dipertahankanoleh bank, maka wajar kalau hampir semua bank di Indonesia tidak sehat dan selalu mendapat subsidi dari pemerintah agar bisa bertahan hidup.
Keadaan seperti ini sebenarnya membuka peluang bagi lembaga keuangan alternatif untuk tumbuh dan berkembang merebut pangsa pasar baru dan mungkin pangsa pasar yang dikuasai oleh bank umum yang tidak sehat dan terlalu hati-hati itu.
"Sayangnya sudah ada muncul beberapa lembaga keuangan alternatif, namun tidak profesional dan banyak yang mati suri, bahkan pelayanannya lebih buruk dari bank umum," ujarnya tanpa menyebutkan contoh lembaga keuangan alternatif tersebut.
Yusuf mengatakan, deregulasi yang diperlukan di daerah saat ini juga adalah di bidang perizinan/birokrasi yang saat ini masih dirasakan berat oleh dunia usaha, terutama UMKM. Pemerintah seyogyanya membuat institusi yang sederhana, efisien dan bebas dari pungutan yang tidak wajar.
Selain itu, perlu deregulasi di bidang peningkatan kualitas insani pengusaha, di samping deregulasi di bidang fiskal seperti memberikan kebijakan taxholiday (penundaan pembayaran pajak) bagi pengusaha yang potensial untuk menanamkan modalnya di Sultra.
Lembaga Keuangan Non-Bank dan Bank (Perusahaan Keuangan) di Indonesia
Perusahaan Keuangan merupakan lembaga yang melaksanakan fungsi utama menyalurkan dana dari yang surplus/ berlebih kepada mereka yang kekurangan dana. Adapun jenis-jenis perusahaan keuangan adalah sebagai berikut:
• Bank Komersial (Commercial Banks): lembaga simpanan yang memiliki asset utama berupa pinjaman dan kewajiban utama lain yaitu tabungan (deposits). Pinjaman komersial beraneka ragam, meliputi konsumen, komersial dan pinjaman real estate, dari institusi tabungan lainnya. Kewajiban bank komersial meliputi lebih banyak sumber dana, seperti subordinates notes atau debentures, daripada lembaga simpanan lainnya.
• Thrifts: lembaga simpanan dalam bentuk tabungan antau pinjaman, savings banks dan credit unions. Thrits umumnya melakukan jasa yang mirip dengan bank-bank komersial, tetapi merek cenderung berkonsentrasi pada pinjaman mereka dalam satu segmen, seperti pinjaman real estate dan pinjaman konsumen.
• Perusahaan asuransi: lembaga keuangan yang menjaga individu dan perusahaan (policy holders) dari even/kejadian yang buruk. Perusahaan asuransi jiwa menyediakan penjagaan dalam kejadian seperti kematian, penyakit, dan pensiun. Asuransi Property Casualty menjaga terhadap luka pribadi dan kewajiban akibat kecelakaan, pencurian, kebakaran dan sebagainya.
• Perusahaan sekuritas dan bank investasi: lembaga keuangan yang menjamin sekuritas dan terlibat dalam kegiatan sehubungan seperti broker surat berharga, jual beli surat berharga, dan menghasilkan pasar dimana surat berharga diperdagangkan
• Perusahaan Pembiayaan (Finance companies): Lembaga penghubung keuangan yang memberi pinjaman kepada individu dan bisnis. Tidak seperti lembaga simpanan, perusahaan pembiayaan tidak menerima simpanan tetapi pembiayan untuk hutang jangka pendek dan jangka panjang.
• Reksa dana (Mutual Funds) :lembaga keuangan yang menawarkan rencana simpanan dimana dana milik partisipan mengakumulasi tabungan selama tahun bekerja mereka sebelum diambil selama tahun penisun mereka. Dana-dana yang pada dasarnya diinvestasikan dan berakumulasi dalam dana pensiun terbebas dari pajak saat ini.
Fungsi Ekonomi yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan
Sistem Keuangan telah menciptakan cara alternatif dan tidak langsung kepada investor (atau pemberi dana) untuk menyalurkan dana kepada pengguna dana. Ini merupakan transfer dana tidak langsung (indirect transfer) dana kepada pengguna dana melalui perusahaan keuangan. Perusahaan keuangan mengurangi biaya monitoring, resiko likuiditas dan resiko harga yang dihadapi penyumbang dana dibandingkan ketika mereka berinvestasi secara langsung pada klaim keuangan, dengan cara berikut:
• Biaya Monitoring : Penjumlah dana agregat di Perusahaan keuangan memberikan insentif yang lebih besar untuk mengoleksi informasi perusahaan dan memonitor tindakannya. Bentuk yang relatif besar dari Perusahaan Keuangan memungkinkan pengumpulan informasi diperoleh pada biaya rata-rata yang lebih rendah (economies of scale).
• Resiko likuiditas dan harga: Perusahaan keuangan menyediakan klaim keuangan kepada rumah tangga dengan atribut likuiditas yang superiro dan resiko harga yang lebih rendah.
• Jasa biaya transaksi: Mirip dengan economies of scale dalam biaya produksi informasi, ukuran perusahaan keuangan dapta menghasilkan economies of scale dalam biaya transaksi.
• Intermediasi maturitas: Perusahaan keuangan dapat menanggung resiko maturitas tidak sama (mismatching the maturities dari aset dan kewajiban mereka.
• Denominasi Intermediasi: Perusahaan keuangan seperti reksa dana memperbolehkan investor kecil untuk mengatasi hambatan membeli aset dengan ukuran denominasi minimum yang besar.
Teori Intermediasi Keuangan
Informasi Asimetris mendorong kurangnya kepercayaan yang mendasar. Ketika dua orang menandatangin kontrak tidak dapat secara independen mengamati hasil yang sma dari biaya yang sama, ada kemungkinan pihak yang satu menyembunyikan fakta, dan dengan melakukan hal tersebut menodrong pihak lain untuk melakukan keputusan berbeda dengan keinginannya (Harper darn Ecihberger, 1997, 244). Perusahaan Keuangan bertujuan meningkatkan tingkat kepercayaan antar pihak dengan mendesain kontrak-kontrak untuk mengurang masalah insentif yang paling mendasar. Dalam hal ini, “intermediasi merupakan respons terhadap mekanisme berbasis pasar yang secara efisien menyelesaikan problem informasi” (Bhattacharya dan Thakor, 1993,14)
Disintermediasi
Jika intermediasi dibangun atas asimetri infomerasi, sehingga berdasarkan logika, kreasi simetris yang lebih besar dalam informasi antara peminjam dan yang meminjamkan seharusnya mengurangi utilitas intermediasi. Hal ini jelas sekali merupakan dampak dari revolusi informasi digital dan merupakan lahirnya yang disebut intermediasi.
Dengan semakin besarnya simetri informasi, peminjam dan yang meminjamkan ditempatkan lebih baik untuk berinteraksi melalui pertukaran klaim keuangan pada pasar yang diatur. Dasar dari keuangan yang diintermediasi, seperti yang dimungkinkan melalui neraca perbankan, semakin dikecilkan artinya. Pertukaran pasar menggantikan intermediasi perbankan seiring aktivitas keuangan yang mulai di-disentermdiasi.
Disintermediasi didorong oleh perubahan pasar-pasar yang berganti sejak awal revolusi informasi.
Tantangan disintermediasi sangatlah nyata……Mundur ke 20 tahun belakangan, dan perbankan dapat mengambil tingkat yang tinggi dalam pinjaman korporasi didasarkan oleh pengetahuan eksklusif berdasarkan pengetahuan akan tingkat kredit klien mereka. Setelah informasi tersebut berkembang semakin luas, perusahaan besar langsung menuju pada peminjam melalui pasar surat hutang, dan margin perbankan mulai tergerus (Anon., 1998)
Teknologi digital telah mengurangi biaya untuk mengumpulkan, memproses dan mendistribusikan informasi. Informasi dan Teknologi informasi (ICT) menguatkan paar dengan meningkatkan arus informasi, bukan menghasilkan kepastian tetapi membaut informasi semakin simteris. Adanya internet, sebagai contoh, telah meningkatkan transparansi, meningkatkan kemampuan semua pelaku pasar untuk menentukan rentang harga yang tersedia untuk instrumen keuangan dan jasa keuangan (Clemons dan Hitt, 2000,4). Bahkan, disintermediasi tidak hanya terbatas pada sektor keuangan juga, pada area seperti agen perjalanan, real estate, dan pasar lelang (Anon., 1998)
Pasar yang baru yang memberikan informasi pada konsumen juga cendrung mendorong harga ke bawah. Hal ini merupakan prospek yang berbahaya bagi barang-barang bermerek seperti produk perbankan dan jasa-jasa, yang berlaku cenderung seperti komoditas. Lebih lagi, teknologi telah secara terus menerus menurunkan biaya-biaya transaksi dari pembiayaan langsung, memfasilitasi kemunculan dari pasar-pasar elektronik yang baru, pembayaran dan jaringan settlement dan resiko berbasis pasar yang baru dan sistem manajemen kekayaan.
Disintermediasi juga diikuti oleh sekuritisasi. Perusahaan besar meningkatakan keuangan secara langsung dari pasar keuangan. Perusahaan-perusahaan degan arus kas yang amana menghasilkan surat berharga dari (atau “securitize”) aset-aset ini, nilai yang ditentukan dari volume dan realibilitas dari arus kas (Holland et al., 1998,222). Surat berharga kemudian dijual kepada publik atau privat kepada investor kelembagaan.
Sekuritisasi dari disintermediasi aset bank dari peran tradisional mereka dari peminjam kepada sektor korporat. Deregulasi keuangan dan teknologi informasi telah berkontribusi kepada dominansi yang bertumbuh dari pasar modal dengan memfasilitasi akses kepada penerbit baru maupu investor.
Bank Retail juga mengalami disintermediasi, meskipun dampaknya lebih lambat untuk terlihat. Peran utama bank dalam pasar retail adalah sebagai intermediasi antar konsumen dan pasar grosir keuangan, umumnya menggunakan produknya sendiri. Saluran pengantar elektronik yang baru membawa konsumen lebih dekat pada penyedia grosir, menciptakan kemungkinan dimana perbankan akan terlewati.
Disintermediasi bukan merupakan ancaman pada dasar dari apa yang bank lakukan. Kelahirannya terletka pada revolusi informasi dan bukan pada erosi yang terjadi pada asimetri informasi.
Bagaimana Perusahaan Keuangan (PK) Swasta menghubungkan (intermediate) dalam pasar keuangan? (Linda Allen, Capital Markets and Insitutions: A Global View)
Perbedaan utama dari perusahaan keuangan (PK)dan non-keuangan yaitu adanya predominance asset keuangan pada neraca (balance sheet) dari PK tersebut. Jalur (course) normal dari bisnis PK adalah menghubungkan antara unit surplus dan unit deficit. Ada dua teknologi intermediasi yang dilakukan, dalam hal ini: 1) pendekatan broker/dealer dan 2) transformasi asset.
A. Pendekatan Broker/Dealer
Hal ini dilakukan dengan cara demikian. Pertama, jika Perusahaan keuangan (PK) bertindak sebagai broker, mendatangkan pembeli dan penjual tanpa bertindak sebagai principal dalam transaksi, jadi kita tidak akan mengharapkan untuk melihat aset keuangan pada Neraca PK. PK akan sekedar menghubungkan pembeli dan penjual sehingga mereka dapat men-transfer aset keuangan antara mereka tanpa aset-aset perlu bergerak melalui PK. Teknologi broker merupakan bentuk dari intermediasi keuangan, tetapi hal itu berjalan seiringan dengan pendekatan dealer. Sebuah dealer membuat pasar dalam suarat berharga keuangan (financial security), oleh sebab itu juga bertindak sebagai principal dalam transaksi keuangan.
Broker dan Dealer bekerja secara bersama-sama dengan cara sebagai berikut, jika ada seorang klien ingin menjual saham asing yang jarang diperdagangkan (thinly traded). PK dalam kapasitasnya sebagai broker, mencari pembeli tetapi tidak dapat memperoleh harga pasar yang pas (fair market value). Untuk menyenangkan konsumen (dan juga menghasilkan uang), PK dapat menawarkan untuk membeli saham atas namanya sendiri. Jika tawaran diterima, perdagangan dilakukan, dengan PK sebagai principal (dalam hal ini pembeli) terhadap transaksi. Saham ditempatkan dalam persediaan (inventory) PK dan muncul di neraca sebagai aset keuangan hingga aset itu akhirnya terjual, mungkin sebagai respons terhadap pesanan konsumen lain untuk membeli.
Peranan sebagai dealer, semakin menguatkan kemampuan Perusahaan Keuangan (PK) untuk menyediakan jasa brokerage dan jasa lainnya. Sebagai contoh, underwriting, dimana PK membawa ke pasar surat berharga keuangan yang baru ditawarkan (newly issued). Dalam melakukan hal tersebut, Perusahaan keuangan diharapkan untuk memberi pertolongan terhadap penghargaan dan strukturisasi dari aspek keuangan, mendaftarkan dan melakukan semua pekerjaaan hukum (legal) untuk surat berharga tersebut, sebagaimana juga mendistribusikan surat berharga keuangan. Jika PK memiliki operasi dealer, maka beberapa porsi dari penawaran baru dapat diserap dalam persediaan surat berharga PK. Penawar Sekuritas (security issuer) seringkali diyakinkan bahwa PK akan melakukan yang terbaik untuk memastikan bahwa penawaran baru merupakan kesuksesan mengingat PK sendiri memiliki investasi dalam penawaran baru.
Karena broker/dealer memfasilitasi transfer surat berharga yang dipasarkan antara unit Surplus dan Deficit, kita mengharapkan neraca mereka mengandung terutama surat berharga keuangan. Surat berharga yang dipasarkan akan di-transfer melalui jual-beli surat berharga yang terorganisasi (securities exchanges) atau secara langsung melalui negosiasi antar pembeli dan penjual. Dalam kasus-kasus tersebut, PK bertindak sebagai penghubung (go-between) untuk melengkapi transaksi.
B. Transformasi Aset (Asset Transformation)
Dalam operasi broker/dealer, Perusahaan Keuangan (PK) merupakan saluran bagi penerbit (issuer) atau penjual (seller) untuk meraih para pembeli yang potensial. PK sendiri transparan karena pembeli dapat melihat (see through) melalui PK hingga penerbit awal dari sekuritas. Ketransparan dari PK penting bagi pembeli agar dapat mengevaluasi karakteristik resiko/return dari sekuritas keuangan karena arus kas surat berharga dibayar oleh penerbit, bukan oleh PK. Bagaimanapun, teknologi broker/dealer bukanlah satu-satunya pendekatan yang tersedia bagi intermediasi keuangan. Jika PK dalam beberapa hal menjamin atau mengubah arus kas surat berharga, maka kadang pembeli tidak perlu mengetahui identitas penjual atau penerbit. Sebenarnya, PK dapat menempatkan dirinya antar pembeli dan penjual dengan mengubah karakteristik dari surat berharga keuangan. Surat berharga keuangan yang datang menuju PK karenanya tidak sama dengan surat berharga dengan surat berhgarga yang keluar. Dalam hal ini, PK bersifat buram (opaque) , karena pembeli tidak mengetahui sama sekali mengenai penjual sebenarnya (original seller) dan penjual tidak mengetahui sama sekali tentang pembeli sebenarnya (original buyer). Kedua pihak bertransaksi secara individual dengan PK dan hanya perlu mengevaluasi karakteristik resiko dari PK tersebut. Pendekatan intermediasi keuangan ini disebut transformasi aset karena PK menciptakan surat berharga keuangan yang baru dengan menjual surat berharga keuangan yang berbeda dari surat berharga yang dibelinya.
Perusahaan Keuangan (PK) yang buram menggunakan transformasi aset untuk menghubungankan antara unit surplus dana dan unit defisit dana meminjam dana dengan menerbitkan satu surat berharga keuangan dan berinvestasi dalam dana tersebut dengan membeli surat berharga keuangan lainnya. Surat berharga keuangan dapat berbeda dari waktu arus kas mereka dan keterbukaan resikonya. Bagan di bawah menunjukkan PK umum menggunakan kedua pendekatan untuk intermediasi keuangan. Ketiga PK (broker, dealer dan underwriter) merupakan PK transparan yang mengkhususkan diri dalam operasi broker/dealer, sedangkan ketiga PK dibawah gambar (Reksa Dana, bank dan perusahaan asuransi) merupakan PK buram yang mengkhususkan diri pada Transformasi aset. Unit defisit dana menghasilkan dana yang dibutuhkan dengan menerbitkan surat berharga keuangan terhadap jenis-jenis pK yang berbeda. PK menggunakan teknologi broker/dealer dan transformasi aset, menjual surat berharga keuangan kepada unit surplus dana untuk mengumpulkan dana yang akan dikirimkan pada unit defisit dana.
Broker, dealer, dan bank investasi/underwriter semuanya menjual surat berharaga keuangan yang sama terhadap unit surplus dana yang mereka beli dari unit defisit dana. Fungsi keseluruhan mereka adalah memfasilitasi transfer surat berharga keuangan dari satu pihak ke pihak lainnya. Mereka dapat memperoleh fungsi ini dengan mengidentifikasi pembeli dan penjual (dalam operasi broker) dengan menempatkan diri mereka di tengah-tengah transaksi (dalam operasi dealer), atau dengan menasihatkan penerbit bagaimana yang terbaik untuk menstrukturisasi sekuritas (underwriting).
Transformasi aset, di lain pihak, mengubah surat berharga keuangan yang mereka beli dari unit defisit dana. Sebagai contoh, bank membeli pinjaman dari peminjam (Fund deficit Units) yang kemudian mereka jual ke unit yang berkelebihan dana/Surplus dana dalam bentuk yang sama sekali berbeda dengan tabungan. Hal ini merupakan transformasi aset karena risk/return dan timing dari arus kas pinjaman berbeda dari tabungan. Mirip dengan itu, perusahaan asuransi memperoleh dana dengan menjual policies tetapi menginvestasikan dana-dana tersebut dengan membeli surat berharga keuangan. Reksa dana dapat dilihat sebagai tembus cahaya (translucent) karena meskipun mereka merupakan pengubah aset (aset transformers), Unit yang kelebihan dana dapat melihat untuk mengidentifikasi unit defisit dana. Karena itu, Reksa dana membentuk portfolio dari surat berharga keuangan yang menjual kembali pada unit kelebihan dana dalam bentuk saham reksa dana. Meskipun saham reksa dana merupakan surat berharga keuangan yang baru, nilaiya sangat ditentukan oleh nilai dari surat berharga keuangan yang terletak dalam portfolio reksa dana. Reksa dana tidak mengubah secara signifikan resiko atau waktu arus kas dari surat berharga awal, meskipun itu memberi keuntungan terhadap diversifikasi portfolio dari unit yang kelebihan dana.
Deposits
Financial securities
Shares
Financial securities
Financial securities
Financial securities
Financial securities
Financial securities
Financial securities
Broker
Dealer
Underwriter
Investment Bank
Mutual Funds
Bank
Perusahaan
Asuransi
Transaksi Tanpa Intermediasi
(Direct financing)
Loans
IOUs
Policies
Financial securities
IOUs
Fund SurplusUnit
Fund SurplusUnit
Klasifikasi fungsional dari Perusahaan Keuangan (Financial Intermediaries)
Definisi umum dari perusahaan keuangan (PK), seperti bank, asuransi, perusahaan ekuitas berbeda dari negara satu ke negara lainnya. Pihak yang kekurangan dan kelebihan dana hanya menginginkan jasa intermediasi keuangan yang efisien dan tidak menghiraukan identitas hukum dari PK yang menyediakannya. Konsumen akan mencukupi kebutuhan jasa keuangannya, dengan melakukan “eyes-shopping” produk ke berbagai PK, dan mencari penawaran terbaik.
Kebanyakan negara di dunia misalkan memperbolehkan universal banking, yang menyediakan jasa keuangan yang beraneka ragam, seperti banking, transaksi surat berharga, penjamin surat berharga (underwriting) dalam satu supermarket keuangan. Daripada mendeskripsikan PK dunia dengan definisi tertentu, akan lebih baik menggunakan definisi fungsional berdasarkan teknologi intermediasinya yaitu asset/broker dan transformasi aset (asset transformers).
Perbedaan Perusahaan Keuangan (PK) dan Non Keuangan terutama dapat dilihat dari laporan keuangannya dan Neraca Keuangannya. Dalam kedua laporan tersebut, terdapat akun-akun yang jelas menunjukkan perbedaan yang menonjol dengan perusahaan non-keuangan. Beberapa aspek spesifik pada Perusahaan Keuangan (PK) secara khusus dapat dilihat pada akun di luar neraca (Off-balance sheet items), Sumber Pendanaan (Source of Funds) , dan Portfolio Investasinya (Investment Portfolios).
•A. Akun di luar Neraca
Kita sering mengevaluasi perusahaan dengan mempelajari neracanya. Namun demikian, beberapa aktivitas penting dari Perusahaan Keuangan (PK) tidak terdapat pada bagian neraca. Akun-akun di luar neraca tersebut merupakan kemungkinan (contigencies) yang dalam situasi tertentu, pada akhirnya menjadi akun dalam neraca. Bahkan menurut survey yang dilakukan Standard & Poors, akun di luar neraca tersebut dua kali lebih besar (229%) dari total Aset dalam neraca PK (lihat tabel). Dalam hal ini teradapat neraca bayangan (shadow balance sheet) dari klaim yang mungkin terjadi dan komitmen yang mengikat Perusahaan Keuangan. Aktivitas di luar Neraca bertumbuh sangat cepat sehingga PK menyadari kesempatan dari surat berharga kontigensi ini memungkin risk shifting dan jasa cash flow timing.
Statistik Deskriptif: Perusahaan Keuangan Swasta dari 12 Negara ( Akhir tahun Fiskal 1994)
Deskripsi Rata-rata Global ($000) Total Asset (%)
Menyimpulkan Neraca Perusahaan Keuangan Swasta
1. Total Aset 60036 100
2. Total Kewajiban 56782 94.6
3. Ekuitas Pemegang Saham 3113 5.2
Akun di luar Neraca (Off-Balance Sheet Contigencies)
4. Total akun di luar Neraca 158.966 229
4a. Letter of Credit 315 0.5
4b. Guarantees 3873 5.6
4c. Loan Commitments 7779 11.2
4d. Foreign Currency Commitments 46443 66.9
4e. Forward/Futures Contracts 50686 73
4f. Interest rate swaps 45859 66.1
4g. Other off-balance sheet items 3948 5.7
4h. Convertible debt 63 0.1
Menyimpulkan Laporan Keuangan Perusahaan Keuangan Swasta
5. Pendapatan Bersih 236 0.4
6. Penerimaan 5326 8.9
7. Pengeluaran Total 4954 8.3
8. Pengeluaran Bunga 2070 3.4
B. Sumber Pendanaan
Sumber pendanaan bagi broker/dealer adalah hutang jangka panjang, yang mencapai 60.8% dari total. Akan tetapi, operasi brokerage murni tidak tampak di dalam neraca. Oleh sebab itu, transaksi di mana perusahaan keuangan membeli surat berharga dari satu klien untuk kemudian menjualnya ke pihak lain tidak akan termasuk dalam neraca karena Perusahaan Keuangan tidak akan menerima pengiriman (delivery) surat berharga.
Perusahaan Keuangan juga bergantung pada Perusahaan Keuangan Lainnya untuk membiayai portfolio mereka. Dua kategori pertama (tabungan inter-bank, dan Federal Funds dan Commercial Paper) terdiri umumnya dari suatu Perusahaan Keuangan yang meminjamkan pada yang lainnya. Bersama, mereka terdiri dari rata-rata 39% dari total sumber dana yang tersedia bagi broker dan delealer. Aktivitas antar perusahaan keuangan bervariasi tergantung dari negara ke negara. Pasar yang paling aktif umumnya Kanada, Inggris Raya, Swiss dan Spanyol serta Italia, karena di negara ini, Perusahaan keuangan bergantunga dari Perusahaan Keuangan lian untuk setengah dari sumber dananya.
Sumber dana utama dari Transformasi Aset adalah tabungan bank, mencapai 68% dari total dunia untuk tahun 1994. Total kewajiban asuransi dan reasuransi mencapai rata-rata 13.5% dari sumber dana transformasi aset. Pasar asuransi yang paling aktif didapati di Perancis, yang mencapai 36.3% dari total dana yang dihasilkan dari Perusahaan keuangan yang menggunakan aset transformasi. Simpanan (Reserves) , yang merupakan keuntungan lalu yang disimpan untuk membiayai kegiatan masa depan, terdiri hanya 1.6% dari sumber dana Perusahaan Keuangan pada tahun 1994.
Sumber Penerimaan Perusahaan Keuangan (Akhir Tahun Fiskal 1994)
Deskripsi Kewajiban Rata-rata Global ($000) Aset Total (%)
Broker/Dealer
1. Tabungan Interbank 4791 34.8
2. Federal Funds and Commercial Paper 577 4.2
3. Hutang Jangka Panjang 8383 60.8
4. Kewajiban Nilai Tukar Asing 36 0.3
5. Total Sumber Pendanaan dr Pasar 13788 100
Transformasi Aset
6. Cadangan kebijakan Asuransi 5330 13.4
7. Tabungan Bank 27041 68
8. Kewajiban Reasuransi 44 0.1
9. Pinjaman lainnya 6696 16.9
10. Reserves 626 1.6
11. Total Sumber Pendanaan Konsumen 39738 100
Data diratakan dari 369 Perusahaan Keuangan. Sumber: Standard & Poor’s GLOBAL Vantage database
C. Penggunaan Dana
Tugas utama broker/dealer adalah menyediakan likuiditas terhadap pasar keuangan. Likuiditas pasar meningkat ketika volume transaksi meningkat karena likuiditas mengukur kemampuan untuk menjual surat berharga keuangan pada harga yang pantas (fair market value) pada suatu titik waktu. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bahwa kategori investasi terbesar broker/dealer pada surat berharga jangka pendek dan kategori kas, mewakili 17.2% dan 25.9% dari total.
Di pihak lain, transformasi asset tidak terbatas pada berinvestasi pada surat berharga yang dipasarkan dan bahkan menghasilkan asset keuangan yang baru dengan karekteristik resiko/retrun yang khusus. Pada tahun 1994, pinjaman merupakan 71.9% dari total investasi transformasi asset. Kategori terbesar dari pinjaman adalah mortgages, mewakili 34% dari total investasi. Kategori kedua adalah pinjaman kepada bank, yang terdiri dari 14.5% dari total asset, ada pun pinjaman komersial hanya sebesar 11.1%.
Jenis Resiko yang dihadapi lembaga keuangan
Dalam beberapa decade terakhir, keuntungan lembaga keuangan semakin baik, namun resiko lembaga keuangan juga meningkat karena kompleksitas produk, industri dan perekonomian.
Secara garis besar, resiko yang dihadapi lembaga keuangan dapat dituliskan sebagai berikut:
• 1. Resiko Kredit: resiko bahwa aliran kas yang dijanjikan dari pinjaman dan surat berharga mungkin tidak dibayar penuh.
• 2. Resiko Likuiditas: resiko bahwa kenaikan tiba-tiba dari penarikan kewajiban dapat menyebabkan lembaga keuangan melikuidasi asset dalam waktu yang sangat pendek dan harga yang rendah.
• 3. Resiko suku bunga: resiko yang diciptakan perusahaan keuangan bahwa maturitas dari asset dan kewajiban tidak sesuai
• 4. Resiko Pasar: resiko yang muncul pada asset yang diperdagangkan dan kewajiban karena perubahan tingkat suku bunga, nilai tukar dan harga asset lain.
• 5. Resiko Luar Neraca (Off-Balance Sheet): resiko yang muncul dari perusahaan keuangan sebagai hasil dari aktivitas yang berhubungan dengan asset yang tergantung dan kewajiban-kewajiban.
• 6. Resiko Nilai Tukar Asing: Resiko yang muncul dari perubahan nili tukar dapat menyebabkan nilai dari asset perusahaan keuangan dan kewajiban didenominasi dalam nilai tukar asing
• 7. Resiko Negara atau Kedaulatan: Resiko yang muncul karena pembayaran dari peminjam luar negeri dapat tertahan karena adanya interfensi dari dari pemerintah luar negeri .
• 8. Resiko Teknologi: Resiko yang muncul dari perusahaan keuangan oleh sebuah Perusahaan keuangan ketika investasi teknologi tidak menciptakan simpanan biaya yang terantisipasi
• 9. Resiko Operasional: Resiko bahwa teknologi yang ada atau sistem penduku dapat rusak atau hancur
• 10. Resiko Insolvensitas: Resiko bahwa perusahaan keuangan tidak memiliki cukup modal untuk menutup penurunan tiba-tiba dari dari nilai asetnya.
II. Ukuran, Struktur dan Komposisi Industri
Di Amerika Serikat, baru pada tahun 1980-an dan 1990-an, regulator (Federal Reserve atau State Banking Authorities) memperbolehkan bank untuk merger dengan bank lain antar Negara (inter-state merger). Kemudian baru pada tahun 1994, Congress memberi peraturan (Reigle-Neal Act) yang mempermudah cabang bank antar Negara. Bank juga baru memiliki kekuatan (terbatas) untuk menjamin (underwrite) surat berharga sejak tahun 1987. Otoritas Penuh untuk memasuki investment bank (dan asuransi) baru diperoleh dengan peraturan Financial Services Modernization Act pada tahun 1999.
•A. Economies of Scale dan Scope
Megamerger (merger/penyatiuan bank-bank dengan asset 1 milyar dollar atau lebih) sering didorong oleh keinginan manager untuk mencapai penurunan biaya atau kenaikan pendapatan. Keadaan “Cost Economies” dapat diperoleh dari “economies of scale” (dimana biaya unita atau rata-rata untuk memproduksi jasa bank turun ketika jumlah bank meningkat) atau “economies of scope” (dimana bank menghasilkan simpanan biaya yang sinergis melalui penggunaan input bersama seperti sistem computer dalam memproduksi produk yang beragam) maupun efisiensi manajerial (disebut “x efficiencies”, merupakan simpanan biaya yang tidak terjadi secara langsung karena economies of scale atau economies of scope, melainkan karena keahlian manajemen yang superior dan factor manajerial lain yang sulit diukur).
Economies of Scale
Saat perusahaan keuangan bertambah besar, skala potensial dan jenis teknologi yang diinvestasikan secara umum berkembang. Perusahaan Keuangan (PK) yang paling besar umumnya memiliki pengeluaran di bidang teknologi yang paling tinggi. Jika teknologi yang semakin baik menurunkan biaya rata-rata PK dari produksi jasa keuangan, PK yang lebih besar akan memilkiki keuntungan economies of scale dari perusahaan keuangan yang kecil. Economies of scale menyiratkan bahwa biaya unit atau rata-rata dalam memproduksi jasa PK secara agregat (atau aktivitas spesifik seperti deposito dan pinjaman) menurun seiring ukuran PK yang bertambah besar.
0
A
B
C
Biaya rata-rata
ACa
ACb
ACc
Fungsi Biaya rata-rata dari Perusahaan Keuangan
Ukuran
BiayaRata-rata
AC1
AC2
0
Economies of Scope Biaya
Perusahaan Keuangan adalah perusahaan multiproduk yang menghasilkan jasa termasuk kebutuhan pekerja dan teknologi yang berbeda. Investasi di satu area jasa keuangan (seperti peminjaman) dapat menghasilkan keuntungan sinergis atau incidental dengan menurunkan biaya untuk menghasilkan jasa keuanga di daerah lain (seperti menjamin surat berharga atau jasa broker). Pada tahun 1999, telah disahkan Financial Services Modernization Act, yang membatalkan hukum yang melarang merger antara bank komersial dan bank investas (demikian juga perusahaan asuransi). Bill tersebut, dikatakan sebagai perubahan terbesar dalam regulasi lembaga keuangan selama 60 tahun, menciptakan perusahaan holding keuangan atau “financial services holding company” yang dapat terikat dalam aktivitas perbankan dan surat berharga serta asuransi. Merger perusahaan kuranga yang menghasilkan jasa yang berbeda seperti , merger antara Travelers Corp dan Citicorp untuk menghasilkan Citigroup pada tahun 1998, memungkinkan kedua perusahaan untuk bersama-sama menggunakan sumber input mereka untuk menghasilkan jasa keuangan pada biaya yang lebih rendah dari pada bila produk jasa keuangan dihasilkan secara independent satu sama lain.
Diversifikasi geografis merupakan factor utama pada akhir tahun 1998 ketika Deutsche Bank (di Jerman) mengakuisisi Bankers Trust untuk perusahaan jasa keuangan terbesar di dunia berdasarkan asset (kombinasi bank tersebut memiliki 843 milyar dollar asset). Bersama, keduanya menjadi salah satu pemimpin global dalam bank investasi. Mereka ajuga memiliki bisnis trading/ jual beli saham terbesar dunia. Pada saat akuisisi, diperkirakan diperoleh keuntungan sebesar 1 milyar dollar melalui pendapatan baru dan simpanan biaya.
Economies of Scope Pendapatan
Sebagai tambahan dari Economies of Scope dari sisi biaya, ada pula economies of scop (sinergi) dari sisi pendapatan yang dapat muncul dari merger dan akuisisi. Sinergi pendapatan memiliki tiga dimensi potensial. Pertama, mengakuisisi PK dalam pasar bertumbuh dapat menghasilkan pendapatan baru. Sebagai contoh, akuisisi dari bank di Florida dan Southwest pada tahun 1980 dan 1990an oleh Nations Bank of North Carolina umumnya merupakan komponen utama dari strategi untuk berekspansi ke jaringan retail bank di seluruh negeri yang akan meningkatkan penerimaan.
Kedua, penerimaan dari bank dapat lebih stabil bila asset dan kewajiban portofolio dari lembaga yang diakuisisi (target) menunjukkan kredit, suku bunga pinjaman, dan karakteristik likuiditas resiko dari yang mengakuisisi. Sebagai contoh, portfolio pinjaman real estate telah menunjukkan siklus regional yang sangat kuat. Secara spesifik, pada tahun 1980an, real estate Amerika menurun nilainya di southeast, kemudian di Northeast, kemudian di California dengan lag yang panjang dan variable. Oleh sebab itu, portfolio real estate yang terdiversifikasi secara geografis dapat menjadi jauh lebih sedikit beresiko daripada real estate dimana yang akuisator dan target berspesialisasi dalam daerah yang sama. Studi baru-baru ini menunjukkan perolehan diversifikasi resiko dari ekspansi geografis.
Ketiga, ekspansi ke pasar yang kurang dari persaingan sempurna memberikan kesempatan untuk peningkatan penerimaan. Oleh sebab itu, bank dapat mengidentifikasi dan berekspansi secara geografis ke pasar-pasar tersebut dimana “economic rents” muncul secara potensial namun dimana regulator tidak akan menunjukkan bahwa entry merupakan tindakan anti persaingan yang potensial. Karenanya, sejauh ekspansi geografis ditunjukkan untuk meningkatkan kekuatan monopoli PK dengan menghasilkan rent yang berlebihan, regulator dapat bertindak untuk mencegah merger kecuali hal itu menghasilkan perolehan efisiensi yang potensial yang tidak dapat diperoleh dengan cara lain secara beralasan. Dalam tahun-tahun terakhir, perlakuan terhadap undang-undang monopoli dan tata aturannya jatuh pada Departemen Kehakiman Amerika Serikat. Secara khusus, Departemen Kehakiman telah menciptakan aturan mengenai diterima atau tidaknya akuisisi berdasarkan kenaikan potensial dari konsentrasi di pasar dimana akuisisi terjadi.
Perubahan dalam Jasa Keuangan
Joseph A. Schumpeter, ekonom yang lahir di Austria dan meninggal tahun 1950 memberikan dua konsep yang hidup hingga sekarang. Dia dikenal dengan konsep “creative destruction”, yang mengacu pada proses dimana produk-produk dan proses-proses baru membuat produk lama menjadi kuno dalam period inovasi yang berbentuk seperti gelombang “wave-like” yang berkontribusi pada kenaikan (boom) dan penurunan (bust) dalam perekonomian. Schumpeter juga menyadari bahwa perubahan teknologi dapat mengakibatkan revolusi dalam struktur ekonomi. Saat ini, kita berpartisipasi dalam proses creative destruction yang terus berlangsung dimana perubahan didorong oleh deregulasi, globalisasi dan perubahan teknologi. Meskipun, perubahan-perubahan ini mempengaruhi semua segmen dalam perekonomian, keinginan utama kita adalah pada jasa keuangan global. Dalam hal ini, Robert C.Merton dan Zvi Bodie (1995) menyatakan bahwa fungsi dasar dari sistem keuangan stabil sepanjang tempat dan waktu, tetapi cara-cara kelembagaan dimana mereka dilaksanakan tidaklah konstan. Fungsi-fungsi tersebut – pembayaran, intermediasi, manajemen resiko, dan informasi harga – dapat dilakukan oleh bank juga oleh berbagai jenis organisasi non-perbankan seperti Merrill Lynch, Fidelity Funds, dan General Electric Credit. Secara sederhana, bentuk mengikuti fungsi dan bentuk dari industri jasa keuangan terus berubah.
Sebagai ilustrasi dari perubahan yang terjadi dari sistem keuangan sejak masa Adam Smith hinga abad delapan belas hingga awal abad dua puluh, kita dapat menunjuk pada real bills atau commercial loan theory diaman bank beroperasi pada masa lalu. Teori itu menyatakan bahwa bank harus membuat short-term self-liquidating loans untuk membiayai produksi sekarang, transportasi dan penyimpanan barang-barang fisik (Meyer, 1986). Bank mencapai maturitas dari aset dan kewajiban mereka. Bank tidak lagi melaksanakan real bills theory. Mereka menciptakan pinjaman untuk tujuan legal apapun dengan maturitas 30 tahun untuk beberapa pinjaman real estate dan kewajiban mereka cenderung jangka pendek. Pendekatan real bills yang berumur dua abad sudah kadaluwarsa bagi manajemen perbankan hingga kebanyakan teks modern dalam perbankan bahkan tidak menyebutkannya, bahkan dalam konteks sejarah.
Perubahan merupakan kata yang sangat umum dalam pasar keuangan global. Perubahan-perubahan dalam pasar keuangan merupakan hasil dari perubahan-perubahan dalam teknologi, dergulasi, dan globalisasi. Namun apa implikasi dari perubahan-perubahan ini. Andrew Crockett (2000), manager umum dari Bank of International Settlements, berpendapat bahwa akan ada erosi terhadap batas-batas geografis antar pasar-pasar, pensamaran dari kekhususan berbagai jenis lembaga keuangan yang berbeda, dan konsolidasi lebih jauh, serta keutuhan pasar-pasar- menunjuk pada penggunaan derivatif yang meningkat untuk memilah resiko perdagangan dan harga. Meskipun begitu, mungkin tidak terjadi adalah transisi yang lancar.
Berikut ini adalah beberapa perubahan utama dalam industri keuangan:
A. Konsolidasi
Konsolidasi dalam industri perbankan di Amerika Serikat sejak tahun 1980 hingga 2000 merupakan perubahan yang paling jelas terlihat. Seperti tabel berikut, jumlah bank menurun hingga lebih dari 6000, dimana persentased dari total aset yang dipegang oleh lembaga-lembaga terbesar berganda. Hasilnya adalah 82 bank-bank besar, kurang dari 1 persen dari jumlah bank total- menguasai dua pertiga dari seluruh aset bank. Konsoldiasi dalam industri perbankan tidak spesifik terjadi di Amerika Serikat. Sebuah studi dari bank sentral Negara-negara Sepuluh (G-10) menemukan tingkat konsentrasi yang tinggi di 13 negara yang mereka periksa. Konsokidasi merupakan hasil dari deregulasi untuk pasar geografis, perubahan dalam teknologi keuangan (seperti securitization dan derivatif), teknologi kominikasi, perubahan dalam teknologi informasi, keinginan untuk mencapai economies of scale, harga saham yang tinggi digunakan sebagai8 mata uang dalam merger dan faktor-faktor lainnya. Konsolidasi umumnya meliputi bank-bank besar dalam satu negara, konsolidasi bank antar negara (cross-border), dan konsolidasi antar bank dan jenis lembaga keuangan lainnya.
Meskipun jumlah organisasi perbankan menurun antara tahun 1988 hingaa 2000, jumlah cabang meningkat dari 59449 menjadi 71647. Hal ini menunjukkan bahwa pelanggan bank ingin menggunakan cabang, yang berimplikasi pada electronic banking. Electronic banking dapat melengkapi bank fisik, namun bukan sebagai pengganti bagi mereka.
Konsolidasi bersifat global, yang direfleksikan dalam merger antar batas dan tarjadi antar perusahaan penyedia jasa keuangan beberapa tahun terakhir: Deutsche Bank (Germany) dan Bankers Trust (U.S.); Credit Suisse (Switzerland) dan DLJ (U.S.); Abbey National (UK) dan Scottish Provident (Scotland); HypoVereinsbank (Germany) dan Bank Austria (Austria).
Konsolidasi perbankan memiliki efek samping yang tidka diinginkan. Cetorelli dan Gamberra (2001) memeriksa hubungan antar konsolidsi perbankan dan pertumbuhan jangka panjang di 41 negara. Mereka menemukan bahwa konsentrasi yang meningkat mengurangi pertumbuhan industri dalam perekonomian secara keseluruhan. Bagaimanapun, hal itu mempromosikan pertumbuhan dalam industri yang lebih muda dan membutuhkan kredit.
Konvergensi
Pembedaan tradinsional antara institusi keuangan mulai memudar. Lembaga-lembaga yang beroperasi secara tradisional dalam pasar-pasar yang terpisah secara meningkat menawarkan jenis produk dan jasa yang tidak dapat dibedakan. Seperti yang diperhatikan oleh Alan Greenspan: “evolusi dari teknologi keuangan sendiri telah merubah selamanya kemampuan kita untuk menempatkan perbankan komersial, perbankan investasi, penjamin asuransi, dan penjualan asuransi dalam kotak yang benar-benar terpisah” (Sicilia dan Cruikshank, 2000,217). Sebagai contoh, perusahaan asuransi jiwa menawarkan produk yang memiliki karakteristik tabungan, sementara dana pensiun dan produk yang berhubungan dengan pasar mulai ditawarkan oleh bank-bank melalui operasi subsidiaritasnya. Bank-bank telah merasakan tekanan untuk mendiferensiasikan produk karena keinginan konsumen untuk berhubungan dengan satu lembaga untuk berbagai kebutuhan keuangan.
Perubahan-perubahan dalam regulasi pemerintah, ditawarkan khususnya untuk mendorong kompetisi, telah bertanggung jawab atas kesamaran antar lembaga-lembaga. Sebenarnya megamerger yang jelas terjadi antara asuransi dan lembaga keuangan lainnya telah terjadi di Amerika Serikat melalui Gramm-Leach-Bliley Act pada tahun 1999 (Koco, 2001). Citigroup menjadi perusahaan berbasis Amerika pertama yang diperbolehkan untuk beroperasi di semua sektor-sektor dalam jasa keuagan -perbankan investasi, perbankan komersial dan asuransi.
Sejauh ini, transformasi menuju lembaga keuangan “one stop” tidaklah cepat dan menggebukan, akan tetapi secara perlahan umulai mencapai momentumnya (Anon., 2001b). Hal ini dapat dimengerti, mengingat kompeksitas dari proses integrasi.
Berangkat dari arus aktivitas antar industri, kelahiran dari produk keuangan hybrid yang mengkombinasikan elemen perbankan, investasi, dan asuransi dalam satu paket – merupakan pertanda lain, mulai samarnya garis antar industri. Produk-prudk tersebut dapat dimodifikasi untuk membiarkan konsumen perbankan biasa menyesuaikan porfolio mereka. Contohnya: Penyedia asuransi sekaran gdapat menawarkan pelanggan Sertifikat Deposito dengan tingkat pengembalian yang dihubungkan dengan indeks pasar saham utama, mirip dengan anuitas berindeks ekuitas, tetapi dijamin oleh Fedral Deposit insuranc corporation hingga batas-batas yang ditentukan (Blowers, 2001).
Produk konvergensi memperbolehkan bank-bank untuk memperkuat hubungan mereka dengan klien-kilen yang ada dan untuk berkompetisi lebih agresif dengan jasa keuangan lainnya untuk konsumen baru. Mereka merupakan pertahanan terhadap pemain niche satu jalur dari dalam atau luar sektor jasa keuangan.
Unbundling
Meskipun konsolidasi perbankan telah mengambil tempat dalam industri perbankan, ada beberapa tren terkati yang memerlukan perhatian. Pertama, jasa tradisional yang ditawarkan oleh bank komersial dipecah dan ditawarkan pula oleh broker, perusahaan asuransi dan perusahaan jenis lainny. Karena ukuran mereka, bank-bank masih merupakan lembaga keuangan yang dominan, dan mereka akan mungkin tetap begitu dalam jangka pendek seiring mereka mengembangkan penawaran jasa keuangan melalui akuisis dan aliansi strategis. Bagaimana pun, ukuran per se keuntungan kompetitf yang dapat dipertahankan. Di masa lalu, bank memiliki informasi mengenai konsumen yang tidak dimiliki lainnya. Seiring kita mencapai sistem real-time dengan transaksi dan pengetahuan, keuntungan yang dimiliki perbankan mulai menghilang. Menurut Alan Greenspan (2000), “Sukses dari organisasi-organisasi perbankan yang berkelanjutan…….bergantung pada kemampuan mereka untuk mereinvestasikan diri mereka dengan menyediakan jasa yang baru dan berbeda dan menghasilkan cara yang baru dan berbeda untuk meminjamkan dan mengatur aset-aset“. Salah satu cara baru untuk menggunakan aset dan informasi adalah penggunaan kerjasama strategis (strategic alliances). Hingga tahap tertentu, aliansi strategis dapat digunakan sebagai ganti merger atau melakukan hubungan antar-batas (cross-border relationships).
Demutulalization
Kedua, demutualisasi terjadi di Amerika serikat thrift industry pada thaun 1980, dan kini terjadi pada industri asuransi. Perusahaan pemegang kebijakan merubah bentuk kerjasama bersama mereka melalui demutualisasi untuk menjadi kepemilikan pemegang saham. Ini memberi mereka akses kepada pasar modal, dan fleksibilitas untuk menggunakan saham untuk melakukan akuisisi
Privatisasi
Ketiga, beberapa perusahaan atau lembaga keuangan milik pemerintah telah diprivatisasi. Fannie Mae (Federal National Mortgage Association), Freddie Mac (Federalh Home Loan Mortgage Corporation) , Sallie me (Student Loan Marketing Associaton) di Amerika Serikat, Credit Lyonnais di Perasncis, dan Banespa di Brazil merupakan contoh-contoh kepemilikan pemerintah yang telah diprivatisasi. Bank-bank yang diprivatisasi, sebaliknya, dapat mengambil atau diambil oleh bank atau perusahaan jasa keuangan
Nationalisasi
Menurut Jurgen E Schrempp, chairman dan CEO dari DaimlerChrysler, mengemukakan bahwa ada reaksi negatif terhadap globalisasi pada abad ke dua puluh satu (Garten, 2001) .Rolf-E. Breuer, CEO dari Deutsch Bank juga mengatakan bahwa nasionalisasi, bukan globaliasai yang menjadi tren yang bertumbuh paling cepat. Sebagai contoh, Credit Suisse First Boston (CSFB) dan bank investasi lainnya mengurangi kontak mereka dengan taiwan setelah CSFB dihukum karena melakukan bisnis di sana. China menurunkan CSFB sebagai penjamin emisi dari perusahaan telecom terbesar keduanya, Unicom Group.
Hukum
Hukum dan keputusan hukum merupakan dua keputusan paling penting yang mempengaruhi jasa keuangan. Sebagai contoh, National Bank Act pada tahun 1864 menciptakan Office of the Comptroller of the Currency (OCC) and national banks, di mana bank-bank dengan national charter diterbitkan oleh OCC. Hukum ini menyatkan bahwa banka nasional memiliki kekuatan untuk melakukan bisnis perbankan dan “incindental powers” yang idperlukan untuk melakukan bisnis. Pada saat itu, perbankan didefinisikan sebagai discounting dan negotiating promissory notes, drafts, bills of exchange dan selanjutnya, tetapi inceindetal powers tidak didefinisikan dengan jleas. Tidak hingga 1995 pada NationsBank v.Variable Annuity Life Insurance Co., bahwa siding mnyatakan bahwa bisnis perbankan tidak terbatas pada kekuatan-kekauatan tersebut yang diekspressikan dalam National Bank Act. Sebaliknya, bisnis perbankan merupakan konsep yang ekspansif, dan kekuatan-kekauatan yang tercantum dalam peraturan tersebut semata-mata ilustratif Efek dari pihak yang berwajib tersebut adalah memperluas kekuatan perbanakan. Sejalan dengan itu, tugas sebuah regulator bank federal adalah ” memperbolehkan inovasi dengan cara yang aman dan baik, tanpa mencegah pertumbuhan aktivitas baru dengan larangan yang membebani dan tikda penting yang menghalangi manfaat-manfaatnya, terhadap bank dan konsumen- memperbolehkan perbankan membangun dan menawarkan produk yang baru dan jasa-jasa (Williams dan Jacobson, 1995)
Pada bulan November 1999, Gramm-Leach-Bliley Act (GLB) disahkan berlaku secara hukum. Itu menandai akhir dari larangan Glass-Steagall pada tahun 1933 mengenai pemisahan bank-bank dari perbankan investasi dan menghilangkan larangan Bank Holding Company tahun 1956 terhadap penjaminan asuransi. Peraturan itu memperbolehkan bank, perushaan sekuritas, dan asuransi untuk berafiliasi, dengan begitu membuka pintu terhadap konsolidasi yang lebih jauh dan meningkatkan kompetisi dalam jasa keuangan di Amerika Serikat dan luar negeri. Regional Financial Corporation mengambil alih REbsamen Insurance Inc., broker asuransi umum yang beroperasi penuh, dan Morgan Keegan perusahaan investasi yang besar. Beberapa asuransi , serperti asuransi Allstate, Metropolitan Life, Principal Financial Group, dan State Farm Insurance, telath memulai Federal Savings Bank (State Farm Bank) mereka sendiri untuk menjaga konsumen yang telah ada dan untuk memperoleh yang baru (Gogoi, 2001). E*TRADE , perusahaan broker online, memiliki E*TRADE bank yang menawarkan jasa perbankan yang penuh. Di Kanada, bank Monteral memiliki InvestorLine, suatu perusahaan discount brokerage secara online. Sebuah private equity fund-Lone Star Fund of Dallas, di Texas,- membeli bank Jepang yang gagal, Tokyo Sowa Bank Ltd. Sebagai tambahan, Ripplewood Holdings LLC di New York membeli Long Term Credit Bank of Japan (Singer, 2001), dan Allianze AG, sebuah perusahaan asuransi German yang besar, meningkatkan kontrolnya terhadap Dresdner Bank AG.
Kombinasi antara perbankan dengan jenis perusahaan jasa keuangan lainnya tidak mesti menambah keuantungan. Banyak perbankan yang relative kecil menyadari bahwa menjalankan rekasa dana mereka sendiri mengurang pendapatan dan pertumbuhan (McReynolds, 2000). Memiliki Reksa dana memberi hasil lebih baik pada bank-bank besar yang dapat menarik keuntungan dari Economies of Scale. Alasan untuk al ini adalah biaya tetap yang tinggi seperti legal fees, director fees dan biaya marketing. Titik balik modal adalah sekitar 50 juta dollar dalam asset.
Kombinasi antara perbankan dan perusahaan sekuritas juga dapat menciptakan kopetisi antara organisasi perbankan yang sama. Seperti AmSouth Bank yang memiliki Trust Divison and AmSouth Investment Services. Trust Devision and AmSouth Investment Services ( penasihat investasi terdaftar-jasa RIA) bersaing dalam menyediakan jasa investasi dan anuitas pada beberapa dari konsumen yang sama. Sebagai tambahan terhadap jasa breoker, RIA juga menjual reksa dana dan anutias yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi.
Merrill Lynch, Amex, General Electric, Pitney Bowes dan BMW memiliki kerjasama pinjaman industri (ILC) yang dilakukan di Utah. ILC merupakan perbankan nonblank (nonblank banks) yang dijamin oleh FDIC, tetapi mereka tidak diregulasi oleh OCC maupun Federal Reserve. ILC memberikan hubungan antara perdagangan dan perbankan , dan mereka menghindari kesalahan pemerintah.
Meskipun tenaga-tenaga liberalisasi disediakan oleh GLB, masih ada pembatasan terhadap aktivitas komersial non keuangan. Pada tahap tertentu, pembedaan antara aktivitas komersial keuangan dan nonkeuangan telah menjadi samara ketika perusahaan keuangan membentuk aliansi strategis dengan perusahaan telekomunikasi dan yang lainnya, untuk memberikan jasa keuangan secara online dan cara yang sifatnya tanpa kable (wireless)
Globalisasi jasa keuangan membutuhkan kerja sama internasional antara regulator di berbagai negara. Basel Committee pada Proposal Banking Supervison untuk New Capital Accord di tahun 2001 merupakan satu conth dari kerja sama internasional antar regulator. New Capital Accord diharapkan dapat diimplementasikan pada tahun 2004, menggantikan yang pertama pada tahun 1988. Ini menunjukkan bahwa kerjasama internasional dimungkinkan, meski sangat lambat dan kurang lengkap.
Modernisasi Keuangan dalam Peraturan Gramm-Leach-biley
Peraturan Gramm-Leach-Bliley Financial Modernization Act pada tahun 1999 mengembangkan batas kegiatan sebelumnya bagi perbankan di Amerika Serikat dengan memperbolehkan Financial Holding Companies (FHC) dan pada tingkat yang lebih kecil, susidiaritas keuangan dari bank, untuk ikut dalam suatu set kegiatan finansial, meliputi suat berharga, asauransi, dan bank perdagangan. Peraturan ini membuka jalan baru yang penting terhadap kegiatan ekspansi dengan memerintahkan Dewan Gubernur Federal Reserved, dengan konsultasi dengan Menteri Keuangan untuk mendaftarkan kegiatan yang diperbolehkan yang mereka nilai sebagai kegiatan keuangan alami atau tambahan terhadap kegiatan keuangan (” financial in nature or incidental to a financial activity”). Untuk organisasi perbankan tersebut agar memenuhi syarat, standard tadi ditekankan pada hal yang sangat terkait dengan perbankan. GLB juga memperbolehkan FHC untuk ikut serta dalam suatu set aktivitas komersial yang tidak disebutkan yang ditnetukan oleh dewan sebagai “pelengkap bagi kegiatan keuangan”.
Salah satu tujuan eksplisit GLB adalah mengintensifikasi kompetisi dalam pasar keuangan dengna menghilangkan batasan peraturan dan hukum antara jenis lembaga keuangan yang berbeda. Pada saat yang sama, Kongress juga mengindikasikan tujuan untuk menjaga pemisahan tradisional antara perbankan dan perdagangan. Selama lebih dari 1 abad, Kongres telah berkali-kali menguatkan pemisahan terhadap insentif yang dihasilkan oleh pasar yang mungkin menghilangkannya.
Skope dari aktivitas perusahaan perbankan, dan hubungan antara perbankan dan perusahaan keuangan dengan perusahaan komersial, akan, pada masa mendatang, ditentukan oleh ekspansi yang diperbolehkan oleh hukum yang baru. Dua tahun sejak perubahan tersebut, pengertian “financial ini nature atau incidental’ telah paling tidak secara parsial dinyatkan dalam proposal dan peraturan oleh dewan dan kementrian keuangan. Berdasarkan pengumumna awal ini dan lainnya, merupakan hal yang mungkin untuk menyatakan bahwa arah yang mungkin dan jangkauan potensial dari hukum yang baru, begitu pula dampak yang mungkin terhadap perbankan pada masa depan.
Peraturan Gramm-Leach-Bliley
Peraturan ini telah diajukan pada November 1999, setelah satu dekade perdebatan, dlam konteks mengembangkan surat berharga perbankan dan aktivitas asuransi dan konteroversi mengenai agen pengatur.
Tujuan
Tujuan Umum dari GLB, sebagaimana diindikasikan dalm Laporan conference pada peraturan tersebut adalah”untuk meningkatkan kompetisi antara industri jasa keuangan dengan menyediakan framework yang hati-hati terhadap afiliasi antar bank, perusahaan surat berharga, perusahaan asuransi, dan penyedia jasa keuangan lainnya”. Harapan umumnya adalah GLB akan meningkatkan kompetisi dalam pasar keuangan dengan membuang batas-batas aturan dan hukum antar lembaga keuangan yang berbeda, memfasilitasi pengenalan dari jasa keuangan yang baru dibentuk yang dimungkinkan dengan teknologi yang berubah, dan tingkat “playing field” dimana perusahaan-perusahaan yang menyediakan jasa keuangan bersaing. Lebih jauh lagi, padangan umum di Kongres adalah pembatasan terhadap kegiatan bank yang dituliskan pada tahun 1933 telah beranjak kuno. Teknologi baru dan inovasi keuangan telah membuat mereka tidak penting dan menghindarkan diversifikasi yang berguna, serta cenderung meningkatkan resiko perbankan.
Meskipun GLB secara eksplisit memperbolehkan masukanya beberapa aktivitas komersial yang yang ditetapkan sebagai pelengkap bagi kegiatan keuangan, banyak yang mengira bahwa kongres bermaksud untuk menjaga pemisahaan tradisional antar perbankan dan perdagangan. Tujuan ini dilakukan dengan beberapa cara, meliputi sebagai berikut:
• 1. Peraturan sebelumnya, yang tidak berhasil, meliputi pembolehan bagi Financial Holding Companies untuk memiliki jumlah ekutias dari perusahaan komersial secara terbatas, yang disebut market basket. Market Basket dihilangkan dari GLB.
• 2. Dalam debat dalam pembuatan undang-undang, sejumlah pwerakilan kongres yang mendukung peraturan mengindikasikan bahwa mereka tidak bermaksud menyatukan perbankan dan perdagangan.
• 3. Laporan Senat mengenai peraturan yang menjadi GLB, menyatakan: Otoritas menyediakan dewan sejumlah fleksibilitas untuk mengakomodasi afiliasi lembaga penyimpan dengan perusahaan asuransi, perusahaan sekuritas dan penyedia jasa keuangan lainnya sementar terus memperhatikan untuk tidak memperbolehkan campuran antara perbankan dan perdaganan yang bertentangan dengan tujuan peraturan ini.
• 4. GLB paling tidak secara parsial menutup kesempatan atas integrasi perbankan dan perdagangan dengan memberlakukan larangan pada perusahaan unitary thrift holding
• 5. James leach, penggagas peraturan tersebut juga menyatakan bahwa GLB tidak memperbolehkan penyatuan antara perbankan dan perdagangan.
• 6. Dewan dan Keuangan telah secara eksplisit mengakui keinginan kongres untuk menjaga pemisahan tersebut.
Konglomerasi Keuangan Tidak Mungkin Mencapai Keuntungan Yang Mereka Harapkan Dan Akan Meningkatkan Resiko Sistemik
Studi emprisi dalam dua dekade terakhir umumnya gagal untuk membuktikan eksistensi dari blobal economies of scale atau scope darlam bank yang terdiversifikasi secara luasa, perusahaan sekuritas yang memiliki jasa penuh, atau perusahaan asuransi dengan banyak jalur. Kebanyakan peneliti menemukan bahwa perusahaan yang paling terdiversifikasi dan besar dalam setiap sektor kurang menguntungkan dan kurang efisien dibandingkan pesaing mereka yang lebih kecil danr lebih terspesialisasi.
Studi mempertanyakan adanya economies of “super scale” yang ditopang oleh catata buruk dari merger perbankan Amerika Serikat selama tahun 1980-an dan 1990-an. Dua per tiga dari merger tersebut gagal menghasilkan sinergi yang diharapkan dan sebaliknya menghasilkan penurunan keuntungan dan kerugian jangka-panjang dalam kekayaan pemegang saham. Beberapa merger terbesar selamat tahun 1996-1998 terbukti merupakan kekecewaan dan kesalahan (contoh: merger Bank One dan First Chicago NBD dan First USA). Akuisisi First Union terhadap CoreStates dan MoneyStore, NationBank merger dengan Barnett Bank dan Bank of America, Well Fargo akuisisi terhadap First interstate. Sebaga tambahan, kebanyakan, bank-bank yang terkonsolidasi tidak memberikan janji mereka untuk menyediakan jasa yang lebih baik dan harga yang lebih rendah kepada konsumen.
Konglomerasi keuangan besar juga memperoleh sukses kecil selama dua dekade terakhir. “Financial Supermarkets” yang dihasilkan selama tahun 1980an oleh American Express, GE, Kemper, Prudential dan Sears, semuanya ditutup setelah menghasilkan keuntungna yang buruk. Sejak tahun 1990, AXA, Bankers Trust, Barclays, ING, NatEst, dan Security Pacific telah menyetujui akuisisi dipaksakan (forced acquisitions) atau menghilangkan bisnis pasar modal setalah rencana ekspansi mereka memberi hasil yang buruk. Akuisisi Bank of Amerika terhadap Montgomery Secirty merupakan kesalahan yang mahal, sementera Conseco menyerap kerugian yang besar akibat pembeliannya terhadap Green Tree. Bencana yang paling besar, yang menghasilkan pertolongan 20 miliar dollar oleh pemerintah Perancis terjadi pada Credit Lyonnais, yang menghasilkan , investasi yang buruk pada perusahaan-perusahaan Eropa dan negara lain.
Lima bank internasional yagn besar, J.P. Morgan Chase, Citigroup, Credit Suisse, Deutsche Bank, dan UBS terus mencari strategi universal bank. Akan tetapi, kelima bank-bank memperoleh keruagian yang bear dari kegiatan pasar model berkali-kali dalam tahun-tahun terakhir, bahkan Citigroup tidak dapat dinyatakan sebagai sukses jangka panjang. Selama sembilan bulan pertama pada tahun 2001, penurunan dalam pasar ekutias dunia menyebabkan penuruan pendaptan dari operasi perbankan investasi pada kelima bank dan perusahaan sekuritas “the big three” (Goldman Sachs, Merrill Lynch dan Morgan Stanley). Pada bulan September, serangan teroris terhadap World Trade Center menyebabkan kerugian yang besar pada perusahaan asuransi (termasuk Citigroup) dan lebih jaguh merusak penerimaan perbankan investasi. Oleh sebab itu, strategi diversifikasi yang dikejar oleh universal bank telah membukakan mereka pada resiko material akibat serangan dari pasar keuangan.
Aspek yang paling menggangu dari konsolidasi keuangan adalah efeknya terhadap resiko sistemik (misalkan resiko bahwa kegagalan institusi keuagan akan mengggangu sistem keuagan dan memiliki efek “spillovers” yang bruuk terhadap ekonomi secara umum). Selama tiga dekade belakangan, bank-bank besar Amerika Serikat telah beroperasi dalam leverage yang lebih besar, lebih likuid, campuran aset-kewajiban yang lebih berisiko. Korelasi antar pertumbuhan dan resiko bukanlah fenomena yang hanya terjadi di Amerika. Studi terbaru menyatakan bahwa bank-bank terbesar di 21 negara paling berkembang (meliputi Amerika Serikat) terikat dalam aktivitas berisiko dan menghadapi kemungkin insolvensi yang besar selama 1988-1998.
Doktrijn “Terlalu besar untuk gagal (TBTF) – yaitu kebijakan untuk menjaga penabung yang tidak terasuransi dan sistem pembayaran kreditor lainnya pada bank-bank besar yang gagal – memberi penjelasan yang paling mungkin untuk kecenderungan bank-bank besar mengambil resiko lebih besar. Studi menunjukkan bahwa kebijakan TBTF memerikan subsidi implisit yang signifikan terhadap bank-bank Amerika Serikat karena (1) hal itu membiarkan mereka untuk membayar tingkat dibawah rata-rata untuk penabung dan kreditor lainnya, (2) itu melindungi mereka dari resiko rata-rata. Studi terakhir menemukan hubungan yang mirip antara status TBTF dan insentif resiko yang sulit antara perbankan eropa yang besar.
Banyak pengamat percaya bahwa konsolidasi perbankan Amerika Serikat telah secara substansial meningkatkan resko dimana kegagalan bank yang besar dapat membangkrutkan FDIC deposit insurance fund. Mirip dengan itu, laporan “Group of Ten” yang terbaru menyatakan bahwa pertumbuhan organisasi perbankan yang kompleks dan besar (Large complex banking organization or LCBOs) telah menggangu resiko sistemik. Sebagaimana dikatakan dalam laporan, konsolidasi aset keuangan dalam LCBO telah (1) menaikkan kompleksitas dari lembaga keuangan utam, membuatnya sulit bagi regulator dan pleaku pasar untuk mengerti resiko yang terkandung dalam LCBO., (2) menghasilkan konsentrasi yang tinggi dan korelasi antara kredit dan resiko=resiko pasar di antara lembaga-lembaga keuangan terbesar, karena dominasi yang semakin besar dari pasar untuk pinjaman antar bank, over-the-counter (OTC) derivatif dan jasa perbankan investasi, dan (3) menghasilkan hubungan yang erat antara perbankan dan subsidiaritas non perbankan dari financial holding copanies, yang membingungkan masalah untuk menyelesaikan kegagalan bank besar secara terpisah dari afiliasi nonobanknya.
Pihak Regulator dan Investor menyadari LCBO merupakan perusahaan yang sangat terintegrasi, meskipun perusahaan menyembunyikan berbagai anak perusahaan mereka. Kebanyakan financial holding compaines sangat terpusta dan berkoordinasi erat dengan aktivitas anak perusahaan non-bank mereka dengan operasi-operasi bank utama (contohnya mengkombinasikan penjaminan surat berharga dengan pinjaman tersindikasi untuk klien perusahaan yang sama).LCBO juga meningkatkan porsi reputasi mereka dalam anak buah nonbank dengan mempromosikan unitary “nama merek” yang meliputi seluruh holding company. Konglomerasi keuangan oleh sebab itu meningkatkan tekanan terhadap regulator perbankan untuk menjaga anak perusahaan non-bank dari LCBO. Pasar keuangan sepenuhnya mengharapkan regulator akan membawa seluruh Financial Holding Companies dalam federal “safety net” untuk bank-bank.
Sebagai contoh, seorang petugas senior dalam jasa investor Moody’s baru-baru ini menyatakan bahwa regulator dari pemerintah harus mendukung konglomerasi-konglomerasi ini selama “waktu stress keuangan yang ekstrem”. Dalam pandangannya, status TBTF dari financial holdign companies yang besar tidak dapat dihindarkan – seperti halnya ungkapan “like the elephant at the picnic -everyone is aware of it, but no one wants to mention it.”. Analis-analis lain setuju bahwa regulator mungkina akan menyelamatkan afiliasi non-bank yang gagal pada LCBO selama kegagalan ekonomi yang parah karena (1) kegagalan afilias dapat menyebabkan “run” yang menular kepada investor holding company dan creditor, dan (2) kejatuhan holding company dapat menyebabkan “flight to safety” yang sistemik dalam pasar keuangan. Dengan melakukan merger yang tidak terbatas antara bank dan perusahaan keuangan, peraturan GLB juga secara efektif menghilangkan “shock absorber” yang dimiliki sistem keuangan Amerika sejak tahun 1999.
Usaha Regulator Saat ini tidak Cukup untuk Mengontorl Insentif “Risk Taking” dari konglomerasi keuangan
Dalam mengejar mandat kongresional dalam GLB Act, regulator mengimplementasikan 4 bagian strategi untuk mengontrol resiko dari LCBO. Pertama Financial Holding Companies harus melaksanakan aktivitas surat berharga, asuransi, dan merchant banking dalam anak perusahaan non-bank yang terpisaha dan dibatasi oleh “firewals” peraturan dari bank terafiliasi. Kedua, semua bank dalam financial holding copany haruslah memiliki modal yang cukup (well-capitalized), dan regulator harus melaksanakn tindakan korektif yang tepat (prompt corrective action, PCA) kepada bank apa saja yang gagal untuk mencapai standar modal yang tertera. Ketiga, semua bank dalam financial holding company harus dikelola dengan baik (well-managed) dan regulataro harus melakukan prosedur pengawasan yang baru untuk mengevaluasi efektivitas ari setiap manajemen LCBO. Keempat, regulator harus mengeksplorasi cara-cara untuk mendorong disiplin market yang lebih baik bagi LCBO.
Pola pikir regulasi ini konsisten dengn proposal kecukupan modal yang baru dan diterbitkan pada bulan Januari 2001 yang merekomendasikan framework peraturan baru yang didasarkan pada “tiga pilar” – kecukupan modal (capital adequacy), pembahasan pengawasan (supervisory review), dan disiplin pasar (market discipline). Proposal Komite Basel meliputi dua pendekatan baru yang telah diadopsi dari regulator bank Amerika Serikat: (1) menyatakan kecukupan modal dalam dasar terkonsolidasi kepada seluruh perusahaan financial holding (meliput anak perusahaan non-bank), dan (2) melaksanakan pemenuhan modal bagi setiap LCBO dalam hal rating resiko internal yang dikembangkan oleh manajer LCBO dan diperiksa oleh regulator bank.
Sayangnya, keempat elemen program pengawasan ini telah menunjukkan kekurangan serius di masa lalu. Pendekatan ini karenanya tidak mungkan menghindarkan LCBO untuk mengambil resiko yang berlebihan atas dasar Federal Safety Net.
Ketidakefektifan Pemisahan Perusahaan sebagai Alat Kontrol Resiko
Kebutuhan Pengawasan didasarkan pada konsep pemisahan perusahaan merupakan konflik fundamental dengan perilaku sebenarnya dari Financial Holding Companies. Seperti yang dicatat di atas, kebanyakan LCBs beroperasi sebagai perusahaan yang sangat terintergrasi, didsarkan pada kebijakan manajemen terpusat yang tidak mengindahkan pemishaan struktural antar anak perusahaan . Pada banyak kesempatan, financial holding copanies telah menyelamatkan anak perusahaan nonbank atau pelanggan mereka untuk menjaga repurtasi dari perusahaan holding induk dan lembaga keuangannya yang teregulasi. Pada kebanyakan kasus yang serius, manajer perusahaan induk telah secara sengaja merusak firewall peraturan dengan melewati batas legal dari dukungan keuangan yang bank dan institusi keuangan teregulasi lainnya peroleh bagi afiliasi yang kesulitan.
GLB Act berbantung pada Sections 23 A dan 23 B dari Federal Reserve Act untuk mencegah transaksi yang disalahgunakan antar bank dan afiliasi nonbank di dalam struktur financial holding company yang baru. Bagaimanapun, regulator dan analis telah mengetahui bahwa (1) peraturan transaksi afiliasi dalam Section 23A dan 23B sangatlah rumit dan sulit untuk dilaksanakan, (2) pelanggaran manajerial dari keadaan tersebut sering kali tidak jelas dan sulit untuk dideteksi. Sebagai hasilnya, ketika perusahaan holding company atau anak-anak perusahaanya dalam stress keuangan yang berat, regulator mungkin gagal untuk menemukan atau mencegah transfer dana bank atau kredit bank yang melanggar limit peraturan. Lebih lagi, untuk menghindari kredit keuangan yang sistemik, regulator dapat memutuskan untuk mengindahkan peraturan transaksi anak perushaan sehingga bank-bank dapat menolong afiliasi mereka yang bermasalah. Pada september 2001, Federal Reserve Bank dilaporkan menahan Section 23A dan mendorong bank-bank untuk mentransfer dana-dana kepada afiliasi surat berharga mereka untuk memotong krisis likuiditas yang mengancam setelah serangan teroris terhadap World Trade Center.
Regulator Federal Bank saat ini muncul untuk memberi sedikit pemberat terhadap teori pemisahan korporasi sebagai alat kontrol resiko yang efektif. Regulator sekarang menekankan pentingnya mengawasi financial holding companies dalam cara terkonsolidasi yang memotong divisi antar perusahaan antar anak perusahaan bank dan anak perusahaan nonbank mereka.Dengan ketaatan agen bank terhadap konsep pengawasan terkonsolidasi sekarang, apakah regulator dan para pelobi terhadap industri jasa keuangan akhirnya percaya pada keberhasilan pemisahan korporasi selama tahun 1990an? Atau mereka hanya menggunakan argumen firewall untuk meyakinkan Kongres memberlakukan GLB Act.
Kekurangan dalam Regulasi Modal
Basel Comittee mnerbitkan international risk-based capital accord pada tahun 1988 (1988) Accord. Accord 1988 menciptakan kebutuha modal bagi bank-bank untuk memberi pinjaman dan komitmen di luar neraca kepada empat kategori berberat resiko yang didasarkan pada resiko kredit yang dipercayai. Banyak komentator mengomentari empat “risk buckets” dari 1988 Accord karena mereka terlalu luas dan tidak terperinci untuk mebedakan antara jenis asset yang mirip dengan asset dengan berbagai tingkat resiko kredit. Sebagai contoh, pinjaman atau perusahaan “blue chip” dengan rating kredit triple-A yang membawas 100 persen resiko yang sama dalam Accord 1988 dengan pinjaman dari perusahaan spekulais dengan tingkat rating di bawah investasi. Perlakuan Accord terhadap kredit resiko yang tidak mengesankan telah memungkinkan LCBO untuk terikat dengan Arbitrage Capital dengan (1) menggunakan derivative yang kompleks, di mana resiko di dalamnya sulit untuk dinilai dijakdikan sebagai substitusi terhadap pengaturan pembiayaan konvensional, dan (2) mengatur struktur sekuritisasi yang mentransfer asset berisiko rendah dari bank sementara terus menjaga asset-asset yang lebih berisiko (meliputi bunga residual dalam sekuritisasi).
Basel Accord pada tahun 1988 tidak meliputi resiko pasar derivative, surat berharga dan asset perdagangan lainnya yang diselenggarakan oleh bank-bank. Sebagai response terhadap peningkatan aktivitas perdagangan yang cepat pada bank-bank besar selama tahun 1990an. Basel Committee mempromosikan peraturan modal tambahan terhadap resiko pasar pada awal tahun 1996. Peraturan-peraturan itu memperbolehkan bank-bank untuk menentukan kebutuhan modal terhadap resiko pasar berdasarkan model internal yang mengukur “Value at Risk” (VaR). Proposal Basel Committee pada tahun 2001 akan memperluas keibjakan ini pada ketergantunga manajemen resiko internal dengan memperbolehkan bank-bank yang berkualifikasi untuk menggunakan rating resiko internal dalam menghitung kebutuhan modal mereka untuk resiko kredit dan resiko operasional.
Krisis perbankan di masa lalu menunjukkan bahwa modal merupakan indicator yang tertinggal terhadap permasalahanp bank karena penurunan modal sering kali tidak disadari atau dilaporkan hingga bank telah mengalami masalah yang serius. Salah satu alasan untuk ketertingalan ini karena banyak asset-aset bank (contohnya: pinjaman komersial, derivative OTV, dan bunga-bunga residual dalam sekuritisasi) tidak diperdagangkan pada pasar yang terorganisasi dan karena itu sulit bagi regulator dan investor luar untuk mengevaluasi. Oleh sebab itu, pihak luar sering tidka mengidentifkasi masalah-masalh depresiasi asset hingga pernurunan yang signifikan dalam modal terjadi. Alasan lain yaitu bahwa manajer-manjer dari bank bermasalah sering menunda penghapusan asset dan moda, berharap bahwa situasi perbankan akan membaik sebelum pemeriksaan pengawasan atau pembukaan pada publik kepada investor yang akan datang.
PCA ingin memperkuat keefektifan dari regulasi modal dengan mendorong regulator mengenakan secara progresif ukuran penegakan yang ketat jika sebuah bank jatuh di bawah standar “adequately capitalized” atauh dua dibawah batas capital yang lebih rendah. Bagaimanapun, regulator pemerintah mengurangi keefektifan PCA denga memilih tes kecukupan modal yang ketat. Hampir semua ban mengikuti standar ketika aturan PCA diikuti pada tahun 1992, bahkan ketika industri perbankan baru saja muncul dari krisis utama. Studi-studi menunjukkan bahwa tes “adequately capitalized” PCA tidak akan mengidentifikasi bank bermasalah selama tahun 1980 dan standar terlalu rendah untuk menangkap kebanyakan permasalahan perbankan selama pertengahan 1990an.
Pemilihan regulator terhadap batas modal yang moderat untuk PCA menciptakan keraguan serius apakah mereka harus kembali pada kebijakan atau toleransi kebijakan jika mereka dihadapkan pada krisis sistemik yang meliputi kegagalan potensial dari beberapa bank besar. Kegagalan dari Superior Bank akhir-akhir ini menaikkan pertanyaan-pertanyaan tambahan mengenai efektifitas dari permasalahan perbankan karena regulator gagal untuk menyadari atau merespons beratnya masalah-masalah bank hinga modalnya telah dilemahkan oleh kerugian yang terjadi pinjaman subprime yang berisiko dan aktivitas sekuritisasi. Kedua studi belakangan menyediakan bukti tambahan bahwa kecukupan modal yang diatur gagal untuk menghilangkan strategi-strategi bank berisiko tinggi selama awal 1990an, khususnya pada bank-bank besar.
Basel Committee dan Regulator pemerintah percaya bahwa pengawasan modal untuk LCBO dapat ditingkatkan dengan menggeser dari peraturan yang seragam kepada pendekatan yang disesuaikan dengan individual berdasarkan manajemen resiko internal yang dikembangkan oleh setiap LCBO. Bagaimanapun usaha ini untuk mendasarkan kecukupan modal bagi model resiko internal LCBO merupakan gerakan problematic yang sangat tinggi. Model penilaian kredit bank otomatis gagal untuk mengantisipasi peningkatan kegalan bayar konsumen dan pinjaman kartu kredit yang terjadi selama 1996-1997. Mirip denga itu, model VaR dikembangkan oleh J.P. Morgan dan bank-bank terkemuka lainnya tidak memprediksi kerugian berdagang yang parah yang muncul selama kegagalan psar modal global yang dipicu oleh kegagalan surat hutang Rusia pada tahun 1998. Studi telah menunjukkan bahwa model-model bank yang digunakan untuk mengestimasi resiko pasar dan resiko kredit tidak dapat dipercaya karena (1) mereka didasarkan pada asumsi yang salah dan data yang tidak cukup, dan (2) mereka memperbolehkan bank-bank untuk mengikuti strategi-strategi yang dapat merusak, karena mereka mentolerasi resiko dengan presentasi kecil dari kerugian yang sangat merusak.
Masalah selanjutnya adalah regulator mungkin tidak memiliki kemamapuan yang cukup untuk memahami dan mengkritik sistem manajemen resiko internal yang dibangun oleh LCBO. Regulator umumnya tidak dapat bersaing dengan lembaga keuangan utama dalam merekrut “rocket scientist” keuangan yang dibayar tinggi untuk merancang dan menganalisa derivatif yang kompleks dan alat manajemen resiko yang memuaskan lainnya. Oleh seba itu, regulator mungkin tidak mampu menjelasakan, dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi, model resiko internal dan rating yang dibangun oleh LCBO.
Regulator perbankan dan banker juga telah mempertentangkan motivasi untuk menetpakan standar modal. Regulator menginginkan peraturan modal yang konservatif yang melemahkan risk-taking yang kurang sesuai dan menjaga federal safety net, bahkan dengan cara membatasi keuntungan bank. Sebaliknya, banker menginginkan peraturan modal yang liberal karena kedaan-keadaan tersebut menciptakan kemungkinan untuk mengeksploitasi subsidi federal safety net karena keadaan tersebut menciptakan kemungkinan atas keuntungan pemegang saham yang lebih tinggi. Para banker oleh sebab itu memiliki insentif yang besar untuk memanipulasi sistem resiko rating internal mereka untuk mengurangi kecukupan modal efektif mereka. Sayang sekali, proposal Basel Committe tahun 2001 tidak menyarankan mekanisme yang dapat dipercaya untuk mencegah LCBO untuk menggunakan model resiko internal mereka dalam berurusan dengan bentuk arbitrase kapital bentuk baru.
Pembatasan Pengawasan dan Disiplin Pasar Sekarang
Pengawasan bank dan disiplin pasar memiliki tujuan bersama untuk menghindarkan bank-bank dari mengambil resiko yang berlebihan. Studi terbaru telah menunjukkan bahwa regulator-regulator dan pelaku pasar memainkan peranan komplementer dalam mencegah pengambilan resiko oleh bank-bank. Hal itu terlihat bahwa metode pengawasan yang berbeda digunakan oleh regulator dan pengamat pasar memungkinkan tiap kelompok untuk memperoleh infomasi kepemilikan mengenai bank-bank belumlah tersedia bagi kelompok lain.
Meskipun begitu, kedua regulator bank dan pasar-pasar surat berharga sering gagal untuk mengidentifikasi masalah-masalah pada lembaga keugan utama hingga institusi tersebut telah terluka secara serius atua fatal. Sebagai contoh, regulator federal, agen rating kredit dan investor tidka menyadari kelemahan yang parah dari banyak bank-bank besar selama tahun 1980an (meliputi Continental Illinois dan Bank of New England) hingga bank-bank tesebut telah dekat dengan kegagalan. Regulator juga gagal pada tahun 1998 untuk menyadari ancaman besar yang dimiliki Long-Term Capital Management (LTCM) terhadap bank terkemuka dan perusahaan-perusahaan surat berharga, begitu juga psar keuangan secara umum, hingga hedge fund menunjukkan kondisi yang penuh bahaya pada Federal Reserve Bank of New York. Dalam arena internasional, IMF, regulator bank, agen kredit , dan investor semuanya gagal menganitisipasi mulainya, semakin buruknya, dan efek menular dari krisis pseo Meksiko (1994-1995) dan krisis Rusia dan Asia pada tahun 1997-1998.
Dua faktor utama menolong untuk menjelaskan kegagalan berulang dari pengawasan dan disiplin pasar dari LCBO. Pertama bank-bank utma telah menjadi semakin kmpleks dan semakin sulit untuk mengevaluasi regulator dan pasar keuangan selama tiga dekade belakangan. Kedua, disiplin pasar sering tidka efektif dalam memprediksi awal dari krisis keuagna, dan juga tanpa pertimbangan mengukum perusahaan-perusahaan seteleh krisis keuangan berlangsung. Sebagai akibatnya, regulator telah secara konsisten mengikuti kebijakan stabilisasi pasar yang menumpulkan disiplin dampak disiplin pasar, oleh sebab itu mendorong investor untuk mengurangi pemeriksaan mereka terhadap perusahaan keuangan besar.
Kompleksitas yang Meningkat dan Ketidaktransparanan Konglomerasi Keuangan
Bank-bank utama telah meningkatkan ketidaktransparanan mereka pada regulatro dan pasar sekuritas dengan meningkatkan transaksi dan aktivitas trading meliputi surat berharga dan derivatif OTC. Seperti pinjaman bank, derivatif OTC dinegosiasikan secara privat, instrumen keuangan yang disesuaikan, yang mana aturan dan dampak keuangan potensial tidak diketahui secara luas oleh pihak luar. Derivatif OTC dan suart berharga berbasis opsi yang kompleks memungkinkan bank-bank (1) untuk menempatkan taruhan yang berlipat tinggi terhadap suku bunga, nilai tukar dan harga pasar untuk komoditas, surat hutang dan saham, dan (2) untuk membuat perubahan yang cepat pada keterbukaan resiko mereka. Sebagai akibatnya, sangat sualit bagi regulator dan pelaku pasar untuk mengevaluasi kondisi keuangan bank-bank utama pada saat yang tepat. Sebagai tambahan, konglomerasi keuangan menciptakan korelasi-korelasi baru antara resiko suku bunga, resiko krediat dan resiko pasar seiring mereka mengkombinasikan operasi pinjaman tradisional dan investasi perbankan dan aktivitas asuransi. Tidak satupun di antara regulator dan pelaku-pleku pasar yang diposisikan secara baik untuk mengakses bahaya potensial dari korelasi resiko baru ini.
Dua studi terbaru menunjukkan ketidaktransparanan relatif dari bank-bank utama terhadap pasar keuangan. Studi pertama menemukan bahwa investor tidak dapat mengantisipasi antar potongan dividen dan tindakan regulator pada 17 banb-bank besar (money center) antara tahun 1975-1992. Keterbukaan pada publik pada masa-masa ini menyebabkan penurunan yang tiba-tiba, tajam dalam harga saham dari money center dan bank-bank regional.
Studi kedua menunjukkan bahwa antara tahun 1983-1993, Moody’s dan Standar & Poor’s memiliki ketidaksepakatan yang membesar dalam rating surat hutan g untuk bank dan perusahaan asuransi dari jenis perushaaan dengan tipe apa pun. Sebagai tambahan , ketidaksepakatan agen rating terhadap rating surat berharga bank meningkat setelah 1986, meski usaha-usaha Kongers dan regulator bank untuk membatasi kebijakan TBTF. Donald Morgan, pelaku studi, menyimpulkan bahwa bank-bank terebesar menjadi kurang transparan terhadap agen rating kredit setelah 1986, karena fokus yang meningkat dari bank-bank untuk berjual beli pada surat berharga, Derivatif OTC dan instrumen keuangan lain. Agen rating akhirnya menemukan bahwa sulit utnuk menilai resiko yang tercantum dalam posisi jual beli bank yang berubah dengan cepat dan tanpa pemberintahuan pada pelaku pasar.
Keterbatasan terhadap Keefektifan Disiplin Pasar sebagai Alat Kontrol Resiko untuk Universal Bank
Pasar-pasar keuangan sering terlihat tidak efektif dalam memprediksi mulainya krisis ekonomi dan tanpa pertimbangan hati-hati dalam menghukum perusahaan-perusahaan berisiko setelah munculnya krisis. Studi-studi terakhir menunjukkan bahwa disiplin bpasar berfluktuatsi intensitasnya, dengan monitoring yang lebih relaxed pada masa baik dan lebih ketat pada masa kesulitan keuangan. Intensitas yang bervariasi dalam disiplin pasar ditunjukkan oleh kecenderungan investor untuk beraksi dengan optimisme yang berlebihan selama “bubble” ekspansif dan panik selam pecahnya “bubble”.
Penolakan terhadap bentuk disiplin pasar yang kuat dari regulator federal konsiten dengan kepatuhan mereka terhadap doktrin TBTF kapana saja mereka menentukan bahwa kegagalan lembaga keuangan yang besar dapat mengguncang sistem keuangan. Penyelamatan Bank TBTF sering tanpak sebagai bagian dari kebijakan pemerintah untuk menjamin stabilitas dalam pasar keuangan. Kebijakan implisti ini telah muncul dari pengetahuan bahwa bank-bank utama bergantung semakin tinggi pada kesehatan surat berharga dan pasar derivatif, karena peranan mereka pada pasar-pasar tersebut, dan investasi yang terkait dengan pasar modal (meliputi derivatif OTC), reksa dana, anuitas, dan asuransi jiwa variabel) untuk presentasi yang berkembang semakin besar dari aset keuangan dan alat-alat manajemen resiko dari bisnis dan konsumen. Penyeleamtan regulator terhadap TBTF bank (dari Franklin National Bank pada tahun 1974 hingga bank-bank New England pada tahun 1991) dan intervensi terus menerus dari FRB dalam pasar-pasar keuangan memberi bukti kuat dari komitmen regulator terhadap stabilisasi pasar merupakan tujuan kebijakan utama.
Peran Utama FRB dalam menyelamatkan LTCM pada tahun 1998, dan ketidakberlakuann peraturan transaksi afiliasi untuk LCBO pada tahun 2001, mengindikasikan secara kuat bahwa pandangan FRB terhadap keselamatan konglomerasi keuangan utama merupakan elemen yang penting dalm misinya yang lebih luas untuk menjaga stabilitas pasar. Investor oleh sebeb itu memiliki berbagai alasan untuk yakin bahwa kebijakan TBTF merupakan pusat dari regulasi keuangan Amerika Serikat.
Rezim peraturan baru diperlukan untuk mengurangi insentif pengambilan resiko dari konglomerasi keuangan.
Atas kurangnya pendekatan sekarang, program pengaturan baru harus diciptakan untuk mengerungi insentif pengambilan resiko. Hal ini terdiri dari tiga elemen utama: (1) menjaga sistem pengamanan tabungan dari biaya penyelamatan TBTF, (2) memastikan konglomerasi keuangan untuk menanggung tanggung jawab utama terhadap biaya keuangan seperti penyelamatan, dan (3) mengadopsi reformasi yang lebih jauh untuk meningkatkan pengawasan darn disiplin pasar.
Cara paling efektif untuk menjaga sistem penjaminan tabungan dari biaya untuk penyelamatan TBTF adalah menciptakan struktur two-tiered dari regulasi perbankan dan asuransi tabungan. First Tier terdiri dari organisasi perbankan tradiisional yang membatasi kegiatan mereka (meliputi kegiatan dari semua afiliasi holding compay) dari jalur bisnis yang masuk dalam kategori “terkait dengan perbankan” dalam Section 4(c)(8) dari Bank Holding Company Act. Sebagai contoh, first tier dari ban-bank tradisional dapat mengambil tabungan, memberi pinjaman dan jasa kepercayaan. Mereka dapat bertindak sebagai agen-agen dalam menjual surat berharga, reksa dana dan produk asuransi yang ditulis oleh perusahaan-perusahaan non afiliasi. Mereka dapat menjamin, membeli atau bertransaksi dalam suku bunga ‘bank-eligible” dimana bank-bank nasional diperbolehkan untuk menjamin atau bertransaksi secara langsung. Mereka dapat menggunakan derifatif untuk transaksi hedging yang bona fide yang sesuai dengan perlakuan hedging berdasarkan FAS 1333. Kebanyakan first-tier bank mungkin lebih kecil, bank-bank berbasis komunits karena bank-bank tersebut tidak memiliki keuntungan komparatif-dan oleh karenanya tidak menunjukkan keinginan yang cukup – untuk turut serta sebagai principal dalam penjaminan asuransi, penjaminan sekurias, transaksi derifatif dan aktivitas pasar modal lainnya. Komunitas bank-bank ini terposisi secara baik untuk melanjutkan bisnis tradisional mereka dan menarik tabungan utama, menyediakan pinjaman kepada konsumen atau perusahaan, menyediakan jasa wealth management melalui operasi kepercayaan mereka.
Untuk menyediakan fleksibilitas terhadap first tier dari bank-bank tradisional, Kongres harus mengubah Section 4(c)(8) dari BHC Act dengan membperbolehkan FRB memperluas daftar dari ativitas yang “erat katiannya” dengan afiliasi holding company untuk bank-bank trandisional. Bank-bank Tradisional dan holding company mereka akan terus beroperasi di bawah aturan pengawasan mereka sekarang dan seluruh tabungan merek (hingga batas-batas tertentu) akan ditutupi oleh penjaminan deposito.
Sebaliknya, lembaga tabungan dan afiliasi mereka akan ditempatkan pada second tier dari organisasi perbankan “nontradisional” jika mereka terkait dalam penjaminan atau perdagangan surat berharga “bank-ineligible”, menjamin asuransi (kecuali asuransi kredit), bertransaksi atau berdagang derivatif (kecuali transaksi hedging bona fide dalam FAS 133), atau perbankan perdagangan. Organisasi perbankan second-tier ini termasuk perusahaan induk kduangan dalam GLB Act. Perusahaan induk memiliki “nonbank bank”, dan memiliki peruahaan induk “unitary thrift”. Perusahaan induk Second-Tier oleh sebab itu mencakup semua organisasi perbankan yang terbesar yang terkait secara erat dengan aktivitas pasar modal, bersama dengan konglomerasi keuangan lain yang mengontrol lembaga penyimpanan FDIC.
Dalam proposal ini, lembaga simpanan yang dijamin FDIC merupakan anak perusahaan dari perusahaan induk second-tier yang harus mengadopsi sturktur “narrow bank”. Bank-bank sempit (narrow bank) Akan mengambil asset-aset mereka dalam bentuk kas dan obligasi hutang yang mudah dipasarkan, seperti surat berharga pemerintah yang berlaku, commercial paper yang dirating tinggi, dan instrumen hutna lain yang diperbolehkan untuk investasi bagi reksa dana pasar uang (MMMF) dalam peraturan Komisi Sekuritas dan Pertukaran. Bank sempit atau terbatas tidak dapat menerima tabungan-tabungan tidak terjamin. Bank-bank terbtas akan memberi resiko yang sangat kecil pada dana penjaminan tabungan FDIC karena (1)setia aset bank terbatas akan ditetapkan “marked to market” dalam basis harian dan FDIC oleh sebab itu akan menentukan secara cepat apakah bank-bank terbatas akan tertekan oleh insolvensitas dan (2) FDIC dapat dengan cepat merubah aset bank terbatas menjadi kas jika FDIC memutuskan untuk melikuidasi bank untuk membayar klaim tabungan terjaminnya.
Review dengan penelitian sebelumnya
Ada beberapa studi mengenai sinergi dalam konglomerasi keuangan, yang secara normal ditujukkan dengan adanya eksistensi economies of scope dalam konteks efek biaya. Di sudut lain, salah satu pemikiran menyatakan bahwa pemikiran seperti itu dapat dipelajari pada dua level yang berbeda, yang disebut efek biaya dan efek pendapatan. Herring dan Santomero (1990) menyatakan pentingnya sinergi pendapatan, dengan menunjukkan bahwa sinergi muncul tidak hanya pada sisi lembaga keuangan tetapi juga pada sisi konsumen ketika jasa keuangan diperdagangkan, dan bahwa jumlah yang dibayarkan oleh konsumen per produk meningkat pada kasus-kasus tersebut. Lebih jauh, Hirota dan Tsutsui (1992) menunjukkan tiga operasi intermediasi keuangan dari bank-bank Jepang (misalkan., peminjaman, investasi dalam surat berharga, dan pengambilan deposito) dan diukur apakah economies of scope muncul dalam mereka. Mereka menunjukkan bahwa keuntungan konglomerasi dapat mengambil bentuk dalam pengurangan biaya juga peningkatan pendapatan, dna menyatakan bahwa “(bab ini) penting untuk menganalisa economies of scop dari keuanya biaya dan pendapatan (penerimaan)”. Pendekatan dasar yang diambil dalam tulisan ini terletka pada studi yang dikatakan tersebut. Kita berfokus pada operasi asuransi dan perbankan dari konglomerasi keuangan, dan menganalisa economies of scope antara mereka. Beberapa studi juga mempelajari economies of scope dalam penerimaan. Banyak studi umum yang dilakukan mengenai keuntungan menggunakan beberapa jasa keuangan secara bersamaan. Di antara mereka, Berger, Hanweck, dan Humphrey (1987) dengan jelas menyatkan keuntungan untuk berfokus pada empat daerah. Efek pertama yaitu (1) membagi biaya tetap. Cabang, sistem pemrosesan data, dan data biaya personel dan lainnya (tetap) dapat digunakan untuk memproduksi dan menjual produk lain. Biaya-biaya dari seluruh bank (kelompok) dapat dipotong dengan membagi mereka. Efek kedua adalah (2) penggunaaan informasi konsumen untuk tujuan-tujuan yang beragam. Jika bank menyediakan jasa penarikan tabungan dan jasa peminjaman, infomrasi konsumen yang diperoleh dari jasa tersebut dapat digunakan untuk lainnya. Informasi dari perilaku tabungan juga sebenarnya digunakan untuk menilai resiko gagal bayar dan bangkrut. Efek ketiga adalah (3) efek pengurangan resiko. Perbedaan-perbedaan dalam penerimaan antar operasi dapat dipisahkan dengan mengoperasikan divisi yang berbeda dan banyak sekaligus. Dan efek terakhir adalah (4) economies of consumer costs. Beberapa pengeluaran jasa perbankan dibayar oleh konsumen dapat disimpan dengan menggunakan beberapa jasa pada saat yang sama. Sebagai contoh, jika bank menawarkan tabungan permintaan, akun simpanan dan jasa peminjaman secara bersamaan over the counter, dst. Keuntungan bagi konsumen ada dalam bentuk biaya bepergian yang disimpan. Bank-bank yang ikut dalam operasi-operasi begitu sekaligus dapat memunculkan biaya yang lebih besar sebagai hasil konglomerasi, tetapi dapat meningkatkan pendapatan mereka dari operasi perbankan secara keseluruhan, melalui peningkatan komisi dibayar oleh konsumen, peningkatan dalam tabungan dan pinjaman yang ada, ekspansi porsi pasar, dan sebagainya.
Economies of scope dibawa dari integrasi unit bisnis yang berbeda umumnya diidentifikasi dalam konteks komplementaritas biaya dalam fungsi biaya. Sebaliknya, Berger, Hanweck dan Humphrey (1987) melakukan studi dalam pendapatan menggunakan data dari bank-bank Amerika dalam bidang dimana karakteristik ditentukan oleh mereka (1) membagi biaya tetap, (2) penggunaan informasi konsumen untuk tujuan berbeda dapat diidentifikasi, meskipun efek pengurangan rsiko dan biay -biaya economies of consumer tidak dapat direfleksikan. Sebagai hasilnya, mereka menunjukkan secara empiris adanya economies of scope dalam penerimaan.
Lebih jauh, Panzar dan Wilig (1981) mencoba mendiskusikan komplemntaritas biaya dari operasi peminjaman dan operasi penarikan deposito dari bank-bank Amerika. Baumol, Panzar dan Wilig (1982) melakukan analisis tambahan mengenai biaya dan pendapatan secara sekaligus, dengan catatan bahwa efek pendapatan juga penting. Dalam paper tersebut, mereka mengukur economie sof scope dengan menggunakan fungsi biaya, yang menunjukkan konsep economies of product mix, dan berargumentsi bahwa penerimaan dalam industri perbankan meningkat dengan menyalurkan produk-produk beragam (sebagai contoh, mereka menunjukkan eksistensi economis of product mix). Sebagai tambahan, Pulley, Berger dan Humphrey (1994) menyatakan bahwa economies of scope dalam pendapatan tidak muncul antara penarikan tabunga dan peminjaman, sementara mencatat bahwa sinergi yang dihasilkan denga menghasilakn jasa keuangan yang banyak dapat mengambil bagian dalam efek pengurangan biaya juga dalam produksi gabungan (economies of scope dalam biaya-biay) dan efek pneingkatan penerimaan karena produksi bersama (economies of scope dalam biaya) dan efek peningkatan penerimaan karena konsumsi bersama (economies of scope dalam penerimaan). Karena kurangnya data, beberapa analisis empiris yang sedikit pada sinergi yang dialami oleh konglomerasi keuangan yang terjadi pada saat yang sama pada perbankan, surat berharga dan operasi asuransi. Lang dan Welzel (1998) menganalisa sinergi dalm universal bank di Eropa, tetapi tidak dapat mengkonfirmasi keberadaan sinergi penerimaan.
Dalam tahun-tahun terdekat, konglomerasi telah menjadi tren utama dalam pasar-pasar keuangan, muncul sebagai strategi utama dari bank yang menghadapi kemajuan teknologi, konsolidasi pasar interanasional dan dergeulasi dalam pembatasan produk dan letak geografis. Dalam konteks ini konglomerasi keuangan didefiniskan sebagai suatu kelompok perusahaan, dibentuk oleh berbagai jenis lembaga keuangan (Van den Berghe, 1995). Struktur organisasional kelompok dipercaya untuk memberi, pada satu sisi kemungkinan mengeksploitasi ekonomi biaya yang lebih besr dan pad sisi lain kemampuan kelompok untuk mengisolasi resiko dari aktivitas yang berbeda. Pada sisi revenue, kemampuan konglomerasi keuangan untuk mendistriubsikan perbankan secara menyeluruh, surat berharga dan jasa asuransi dapat meningkatkan pendapatan potensial mereka dan menuju pada arus keuntungan yang lebih stabil. Konsumen dapat menilai suplai jasa keungan dan biaya informasi (Vander Vennet, 2002). Bagaimanapun, dikatakan bahwa struktur tersebut memilik kelemahan-kelemahan, seperti konflik kepentingan dan konsentrasi kekuasaan (Saunders 1994).
Di balik debat teoritis, terlihat sedikit bukti empiris pada efisiensi struktur konglomerasi perbankan. Verweire (1999) menyatakan tiga alasan utama atas jarangnya penelitian empiris pada konsekuensi dari kongloemerasi keuangan. Pertama, konglomerasi keuangan masih dilarang di beberapa negar (contohnya sampai akhir-akhir ini Amerika). Kedua, tren menuju konglomerasi keuangan relatif baru. Terakhir, peneliti pada jasa keuangan telah mengadopis pendekatan fragmentary yang berfokus pada perbankan, surat berharga, dan industri asuransi.
Vander Vennet (2002) menganalisa efisiensi biaya dan keuntungan dari konglomerasi keuangan Eropa dan universal bank dan menyarankan konglomerasi lebih efisien dalam pendapatan daripada bank terspesialaisai dalam tingakt dimana efisisensi biaya dan keutnungan lebih tinggi di universal bank dari pada nonuniversal bank. Hasil-hasil ini terlihat mengindikasikan bahwa tren saat ini menuju konglomerasi keuangan dapat menuju pada sistem perbankan yang lebih efisien.
Upaya Memperkuat Struktur Kelembagaan Perbankan
Upaya memperkuat struktur kelembagaan perbankan dilakukan dengan melanjutkan arah kebijakan besar dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Sesuai dengan perencanaan API, tahun 2006 merupakan tahun pertama dari program 5 tahun implementasi secara penuh selurh konsep API yang telah dipersiapkan.
Salah satu fokus dari penjabaran API lebih lanjut yang akan dilakukan adalah mempersiapkan perbankan dalam mengantisipasi perkembangan bisnis perbankan ke depan. Kebijakan terutam terkait dengan dinamika yang sangat cepat, baik dari kondisi industri perbankan sendiri maupun kondisi perekonomian secara keseluruha termasuk lingkungan strategis yang melingkupinya seperti perubahan, dan perkembangan invomasi sektor keuangan serta pasar keuangan global yang semakin terintegrasi. Berdasarkan kondisi tersebut, Bank Indonesia mulai mempertimbangkan pola kegiatan universal banking sebagai suatu bagian dari masa depan perbankan nasional. Konsep ini secara sederhana dapat diartikan, bahwa bank sebagai suatu entity dapat terlibat di hampir semua aktifitas bisnis sektor keuangan seperti: asuransi, pasar model, sekuritisasi, Reksa Dana dan kegiatan derivatis lainnya yang terkait. Meskipun, pelaksanaan kegiatan universal banking berpotensi memberikan peluang bagi industri perbankan dalam meningkatkan kinerjanya, namun dalam beberapa hal juga berkonsekuensi meningkatkan risiko usaha bagi bank secara individual dan risiko sistemik bagi sistem keuangan.
Kebijakan untuk membuka kemungkinan kegiatan universal banking di Indonesia, nantinya akan dilakukan secara selektif. Hal ini akan dilakukan dengan mengaitkan izin operasional kegiatan universal banking melalui berbagai persyaratan ketat yang menggambarkan kesiapan bank dimaksud dalam mengantisipasi risiko yang mungkin timbul. Terdapat pemikiran terhadap kemungkinan struktur industri perbankan masa depan yang saat ini mulai diarahkan dengan berdsarkan jumlah modal, nantinya akan dikaitkan dengan eligibilitas bank-bank untuk melakukan pola operasional universal banking. Bank-bank yang tergolong sebagai Bank dengan Kinerja Baik dengan kriteria CAR dibawah 10% dan NPL lebih kecil dari 5%, tergolong sebagai bank-bank internasional atau nasional, dan memiliki kemampuan risk management yang handal, akan mempunyai peluang besar dapat melakukan diversifkasi produknya kearah universal banking.
Sejalan dengan antisipasi perkembangan bisnis perbankan tersebut, Bank Indonesia akan tetap memperkuat proses pengawasan perbankan. Arah kebijakan Bank Indonesia di bidang pengawasan adalah mencoba melakukan penialin potensi reisiko suatu bank secara terkonsolidsi, bsebagimana praktik yang telah lajim diterapkan dalam mengawasi operasional universal banking. Hal ini dilakukan denan pertimbangan bahwa sumber risiko bagi bank dapat ersal dari unit usaha (entity) lain yang mempunyai hubungan dengan bank tesebut seperti hubungan kepemilikan atau dengan anak perusahaan denga kegiatan usaha yang berbeda. Fenomena bisnis perbankan di banyak negara menunjukkan pola operasional unviersal banking akan cenderung memilih bentuk sebagi kelopmok u saha di bidang keuagna (bank/financial holding company), dengan anak-anak perusahaan yang bergerak di berbagai jenis jasa keuangan.
Dalam pelaksanaannya, langkah ini akan dimulai dengan melakukan assessmente terhadap resiko secara down-sterema consolidation yaitu mencakup penilain risiko bank dan anak perusahaan bank yang bergerak di bdiang keuangan, seperti halnya pada peusahaan sekurtis. Pada waktunya langkdh ini akan dilanjutkan dengan penilain reiskio secara full consoidated engan memperluas cakupan penislain secaraupseteram dan down-steram serta keseluruhan konglomerasi yang terkait dengan ban. Dalam konteks ini, konsepesi single presecne pooicy menjadi relevan utnuk dtierpakan, terutama ketika peniali secar ful considataed sudah mulai diterapkan.
Selama ini pada sdasarnya Bank Indoensia telah melaksanakan beberapa bagian dari kerangka penilaina riskio secara terkonsilidasi ersebt terutama yang berkatian dengan dtrasparansi laporan keuangan Bank dan Perusahaan idnuk serta Perushaan Anak, serta dilakukannya penilain secara kualitataif dalam kerangka risk based supervision dan CAMELS rating system. Ke depan, penilai yang bersifat kualiatif tesebut secara bertahap akan dilengkapi juga dengan penilain yang bersifat kuantitatif. Pola penilain risiko secara terkonsolidasi ini juga merupakan salah satu persyaratan yang harus dipnuhi dalam menuju penerapan Basel II.
Guna mendukung penerapan kebijakan-kebijakan jangka menengah panjang diatas, saat ini Bank Indonesia bersam adengan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan juga industri perbankan nasional, telah memulai sebuah program kerjasama untuk melakukan kajian terhadap perlunya penyesuaian standard akuntansi Indonesia dengan International Accounting Standard (IAS), terkati dengan dinamika di atas. Perbankan dihimbau untuk mulai mempersiapkan diari untuk mengimplementasikan IAS 39 yang pada saat ini konsepnya sedang dipersiapkan bersama. Penyiapan infrastruktur pendukung tesebut adalah konsekwensi yang harus diambil agar perbankan domestik dapat sejajar dengan perbankan di dunai yang sudah terlebih dulu bergerak.
Charge dan Counter-Charge
Contoh-contoh dari konflik kepentingan yan gpenting dalam industri jasa keuangan adalah legion, yang paling jelas muncul ketikan manajemen dari sebuah perusahaan induk keuangan menahan informasi vital dari konsumen surat berharga umum untuk, sebagai contoh, menjaga klien kredit dan diri merek dari efek buruk yang mungkin terjadi dari pengetahuan tentang perkembangan ekonomi yang tidak diinginkan: atau ketika ia membawa dana-dana yang secara khusus ke dalam bentuk-bentuk investasi yang menguntungkan bagi dirinya atau konsumen korporat yang besar. Secara spesifik, konglomerasi mungkin bertindak atas ketidakuntungan investor kecil dengan mempromosikan produk keuangan (seperti sertifikat investasi yang digaransi, reksa dana atau kartu charge) hanya dari badan-badan dimana ia merupakan pemegang saham. Mirip dengan itu, konglomerasi mungkin mendorong klien tertentu dengan membuang surat berharga yang tidak berguna ke dalam portofolio dari dana investasi yang terasosiasi dan perusahaan trust.
Ada tiga response standard terhadap pertanyaan konflik kepentingan: (1) kerja sama konglomerasi besar tidak akan membiarkan reputasi dan pendirian mereka dalam komunitas dengan tindakan seperti itu; (2) kompetisi yang baik hadir dalam sistem keuangan Kanada akan menghukum tindakan tidak benar seperti itu; (3) regulator dapat menciptakan “Chinese walls” (yaitu pemisahan informasi dan kepentingan dalam organisasi) untuk menjaga konsumen dari eksploitasi.
Kita dapat mendekat isu transaksi inter korporasi atau self-dealing dengan menunjukkan bahwa banyak legitimasi yang berguna, baik dan sama sekali legitimate dari transaksi antar pihak yang berhubungan yang hadir setiap hari dalam arah normal dalam operasi bisnis. Yang terjadi dengan cara seperti ini dilakuakn dalam nilai psar yang baik, atau penilaina independen dari review, yang penting dan tidak memperburuk solvensitas pihak atau stabilitasnya.
Tetapi masih banyak pihak yang percaya bahwa kredit dari konglomerasi keuangan akan lebih tesedia bagi konsumen dari bisnis afiliasinya daripadakonsumen dari bisnis alian yang tidak terafiliasi. Di samping lebih mendukung perusahaan terasosiasi dengan harapan mereka akan sukses dan menyediakan pengembalian yang baik kepada pemegang saham dan manajemen perusahaan induk, beberapa kritk juga menyatakan bahwa konglomerasi hanya pada kondisi dimana mereka setuju untuk melakukan bisnis dengan perusahaan afiliasi lainnya. Yang terkait dengan praktik tertuduh tersebut adalah arugmentasi bahwa konglomerasi keuangan, memiliki ‘kantong dalam’ mungkin terus memberikan kredit kepada perusahaan terasosiasi dalam keguncangan daripada memotong kerugian.
Argumen dari pihak yang tidak menyetujui hal di atas juga memilki argumen yang meyakinkan. Pertama, mereka menyatakan bahw bukan keinginan dari konglomerasi keuangan untuk membantu perusahaan asosiasinya ketika hasil yang lebih tinggi tersedia di tempat lain. Hasil dari anak perusahaan akan dihlingkan dengan pendaptan bungan yang dihilangkan dari konglomerasi finansial. Lebih lagi batas atas dari favoritisme tersebut, berakar dari bentuk pembatas legal terhadap pinjaman pada perusahaan afiliasi. Sebenarnya, mungkin konglomerasi keuangan akan melakukan segala usaha untuk tidak mendiskriminasi terhadap perusahaan tidak berafilisasi apabila mereka bersaing dengan anggota dari perusahaan induk atau tidak untuk menghindari pengurangan kredit. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa untuk banyak tahun bank-bank terdaftar telah melakukan usaha dengan perusahaan keuangan, pedagang retail dan perusahaan-perusahaan mortgage yang bersaing dengan angsuran pinjaman merke dan dpertemen mortgage mereka sendiri.
Kedua, yang disebut ‘tied selling’ agar efektif, konglomersi kuangan harus memilki kekuatan monopoli. Jikan konsumen dapat berganti ke lembaga keuangan lainnya -misalkan seseorang tidak berafiliasi dengan perusahaan induk -ketika perusahaan jasa keuanga sebelumnya (misalkan bank, perusahaan trust, credit union, dsb) membutuhkannya untuk menggunakan jasa-jasa lain (misalkan asuransi, broker, dsb) sebagai kondisi terhadap pinjaman, maka ‘full-line forcing’ tidak akan efektif. Tentu saja, karena penyalagunaan ini dicegah melalui peraturan.
Tiga, pemikiran yang disederhanakan bahwa konglomerasi keuangan akan menutup afiliasi bankrut dapat ditolak keran hal itu berada pada prinsip manajemen modern yang diterima. Dalam perusahaan induk, tidak mungkin memaksa manager dari anak perusahaan keuangan untuk beroperasi tidak menguntungkan ketika kerugain transfer semata-mata dari satu kantong ke lainnya. Dengan kata lain, perusahaan keuangan akan menemukannya tidak berdasar untuk terikat dengan praktek ini jika ia melihat anak perusahaan sebagai pusat keuntungan (konsep ini meliputi target dan rencana insentif manajemen dan menghargai performa dengan hasil-hasil.
Menurut M Fajar Marta (Kompas, 12 Desember 2007, hal 21), dengan segala risiko dan tantangan yang menghadang pada tahun 2008, bank harus menyiapkan strategi terbaik agar tetap bisa melanjutkan pertumbuhan.
Salah satu kunic sukses bank ke depan ialah menjaga suku bung kredit tetp rendah. Artinya, ketika BI Rate naik, bank harus berupaya tidk menikkkan suku bung kredit. Akan lebih baik jika perbankan bisa terus menurunkan suku bunga kredit.
Hal ini perlu dilakukan untuk menjaa momentum tingginya minat sektor riil meminjam kredit sekaligus memenangi kompetisi dengan industri pasar modal.
Direktur Bank Mega Kostamban Thayib mengatakan, secara terori besaran suku bunga kredit terbentuk oleh besaran berbagai faktor, yakni biaya dana (cost of fund), biaya operasional, margin keuntungan, dan premi risiko.
Saat ini cost of fund, yang dihitung dari rata-rata suku bunga deposito dan tabungan sekitar 7 persen per tahun.
Sementara biaya operasional, margin keuntungan, dan premi risiko masing-masing sekitar 2 persen. Hasilnya, rata-rata suku bunga kredit yang terbentuk saat ini sekitar 13 persen.
Agar suku bunga kredit bisa makin mengeicl, tentunya biaya faktor pembentuknya harus diturunkan. Menurut Kostaman, bank harus mencari cara bagaimana menjaga suku bunga tabungan atau deposito tetap rendah, tetapi masyarakat tetap tertarik menyimpan uangnya di bank.
Menurut Kostaman, “Kiatnya ilah dengan membuat produk campuran antara produk bank dan proudk paar modal. Jadi, imbal hasil produk bank yang rendah akan dikompensasi dengan imbal hasil yang tinggi dari produk pasar modal. Jadi, nasabah tetap bisa menikmati imbal hasil yang kompetitif.
Langkah lainnya ialah dengan memperbesar porsi dana murah, seperti tabungan dan giro. Ini akan menurunkan biaya dana secara signifikan mengingat suku bunga tabungan saa ini hanya berkisar 3 persen. Bandingkan dengan bunga deposito yang masih sebesar 6-7 persen.
Biaya opersional bank sebenarnya masih sangat berpeluang untuk diturunkan. Dibandingkan negara-negara lain, tingkat efisiensi perbankan indonesia tergolong masih buruk. Saat ini rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional masih sebesar 83.59 persen. Tingkat risiko dan margin keuantungan juga masih bisa diturunkan. Dengan tingkat manajemen reisiko bank yang semakin baik dan risiko dunia usaha yang terus menurun, sharusnya bank tak lagi menetapkan premi yang terlalu mahal. Apalagi, rasio kredit bermasalah (NPL) terus menurun sehingga kewajiban bank untuk menyisihkan pencadangan berkurang.
Data ini kami ambil dr situs:
1. www.kapanlagi.com
2. http://garisgaris.wordpress.com/2008/01/26/lembaga-keuangan-non-bank-dan-bank-perusahaan-keuangan-di-indonesia/